Cinta Tak Seharusnya Berdusta


Perkenalan Nina dengan Andre memang bukan perkenalan yang indah. Saat itu, secara tidak sengaja Nina menumpahkan kopi sehingga membasahi baju Andre. Lain halnya dengan Andre. Sejak pertemuan itu, ia langsung suka terhadap cewek bernama lengkap Karenina ini.

Hal ini pula yang ditangkap oleh Lyla—sahabat Nina. Sayangnya, Nina tidak percaya dengan kata-kata Lyla. Hingga akhirnya, Andre mengatakannya sendiri di hadapan Nina saat ia masih dalam masa berkabung karena ditinggal sang ayah tercinta.

Dengan dukungan dari sahabat-sahabatnya—Lyla dan Riri, sang ibunda, serta kedua kakaknya—Vivit dan Lulu, akhirnya Nina resmi berpacaran dengan Andre.

Di mata semua orang Andre sangatlah baik. Kini, Nina dibuatnya benar-benar jatuh cinta. Ia seolah menemukan lelaki paling sempurna di dunia ini. Ia bisa bermanja di pelukannya dan juga berkeluh-kesah tentang apa saja.

Namun, di tengah kebahagiaan yang sedang Nina rasakan, muncul seseorang bernama Juni. Tidak ada informasi apa pun yang Nina dari mulut Andre mengenai wanita ini. Andre hanya bilang, Juni adalah teman sekolahnya. Yang mengherankan Nina, mengapa Juni setiap hari datang ke kampus mereka untuk menemui Andre.

Belum tuntas pertanyaan Nina tentang wanita yang mirip Jupe itu, Nina dikejutkan dengan serangkaian foto mesra Andre bersama wanita lain. Ada apa dengan semua ini? Apa yang kekasihnya sembunyikan selama ini? Seolah dunia kompak bersekutu dengan Nina. Saat ia merasa tertekan dengan kehadiran masalah pacarnya itu, masalah lain juga datang dari Lyla.

Akhir Sepotong Rindu

Sepuluh tahun sudah berlalu sejak Adrianna meninggalkan Reno. Entah apa yang merasuki pikirannya saat itu, Anna—sapaan akrabnya—begitu tega meninggalkan Reno sendiri di saat Reno benar-benar sedang membutuhkannya.

Tidak dipungkiri, kecelakaan mobil itulah yang membuat Anna jadi ragu akan kesetiaannya pada Reno. Belum lagi, omelan yang kerap Anna dapatkan dari ibunda Reno. Semua itu menambah kebulatan tekadnya untuk menginggalkan pria yang sangat ia cintai.

Sayang, meski sudah sepuluh tahun berlalu, Anna masih menyimpan rasa cintanya terhadap Reno. Ia bahkan nekat meminta waktu untuk mencari kembali Reno di Jogja kepada sang ibu yang saat itu akan menjodohkannya dengan seseorang bernama Indra.

Satu kesempatan pun diberikan sang ibu kepada Anna. Dengan tekad yang bulat, ia menghubungi Naufal—sahabatnya semasa kuliah. Begitu sampai di kota gudeg itu, kenangan akan Reno semakin kuat terasa. Dulu, ia, Reno, Naufal, dan Afra—pacar Naufal, selalu menghabiskan waktu bersama.

Berbekal informasi yang didapatkan Anna dari Naufal, akhirnya ia bisa bertemu dengan Reno. Hanya saja, Anna harus berpura-pura menjadi asisten para mahasiswa yang sedang melakukan penelitian di Taman Nasional Gunung Merapi.

Di sanalah ia bertemu kembali dengan sosok yang selama ini ia cari. Reno yang begitu ia cintai. Reno yang telah ia tinggalkan dan sakiti. Rasa bersalah pun berkecambuk dalam diri Anna. Namun, Reno yang sekarang begitu dingin. Jauh dari sifatnya yang dulu begitu hangat.

Lambat laun, sikap Reno kepada Anna mulai berubah. Ia sudah memaafkan Anna atas kejadian beberapa tahun silam yang menyebabkan pernikahan mereka batal. Namun, baru saja Anna berharap bisa kembali seperti dulu, ada saja kejutan yang membuatnya tidak bisa menerima kenyataan yang ada.

Suatu kenyataan yang membuatnya bingung. Suatu kenyataan yang membuat Anna merasa dikhianati. Meski begitu, Anna yang tampak begitu berat menerima kenyataan tersebut dengan mudah melewatinya. Semua karena Naufal selalu berada di sampingnya.

Bukan Kekasihku Lagi


senja yang terhampar di balik lembayung jingga, menghias sore di kota ini, aku benamkan diri dalam pelukan kenangan yang seakan tak mau enyah menghantui sudut-sudut pikiranku. Sesekali angin sejuk yang menyentuh tubuhku menambah kenyamananku untuk tetap berdiri di sini, di lantai 16, lantai puncak gedung apartement ini, apartemen sederhana yang sudah hampir 10 tahun aku tinggali. 
Hamparan gedung-gedung megah terhampar dan terlihat jelas dari sini, kota ini telah berkembang pesat, sepuluh tahun lalu, ketika aku pertama menginjak kota ini, gedung-gedung pelengkap fasilitas kota ini masih bisa di hitung oleh jari, namun kini, semua seakan berlomba untuk memberikan citra kemegahan bagi kota ini, menciptakan kota ini menjadi belantara beton. 
Di tempat ini, puluhan kenangan tlah tercipta dalam hidupku, tempat ini telah menjadi saksi pahit manisnya hidupku, dan semua itu aku catat rapih dalam memori pikiranku dan tak pernah dapat aku lupakan. 
"Fian, pa kabar?" 
Aku berbalik mencoba melihat sumber suara yang menyapaku itu. 
"Vi, kamu ternyata datang juga, aku pikir..." 
"Aku gak bakalan datang? Gak bakal lah aku setega itu sama kamu." 
Aku tersenyum, Vika berjalan menghampiriku dan mengambil posisi berdiri di sampingku. 
"Tak banyak ya yang berubah dari tempat ini." 
"Kecuali orang yang berdiri di sampingku ini." 
"Kamu ya...!" Vika memukul pelan pangkal lenganku. 
"Kamu tuh yang banyak berubah." 
"Berubah gimana? Perasaan enggak deh." 
"Kamu jauh lebih dewasa sekarang." 
Aku
tersenyum, kualihkan pandanganku kembali menatap hamparan pemandangan kota di depanku ini. lampu-lampu jalanan dan lampu gedung mulai menyala, seiring meredupnya cahaya sang mentari. Cahaya jingga itu perlahan berganti menjadi biru tua. 
"Sebenarnya ada yang ingin aku sampaikan." Ucapku tanpa mengalihkan pandangan. 
"Oh ya? Tentang apa?" 
Aku tak melanjutkan kata-kataku. 
"Ko malah diam?" 
"Oh ya, bagaimana skripsi kamu?" aku mencoba mengalihkan pembicaraan. 
"Perkembangannya bagus, hampir semua saran tulisan yang kamu berikan di ACC oleh dosen pembimbing aku." 
"Baguslah kalau gitu!" 
"Wah, kalau gak ada kamu, gimana jadinya skripsi aku." 
"Ah, itu kan karena usaha kamu juga." 
"Memang sih, tapi kamu tuh yang paling banyak bantu aku selama ini, liat aja, mulai dari nyari tempat buat ambil data, ngumpulin bahan, sampai bimbing aku dalam penulisan skripsi ini, wah, kamu TOP banget lah." 
"Gak usah nyanjung gitu deh, aku seneng kalau bisa bantu kamu." 
"Kenapa sih kamu sampai mau baik banget gini ma aku?" 
Tak ku jawab pertanyaan itu. 
"Ko diam?" 
"Setiap orang pasti ingin berbuat yang terbaik untuk orang lain." 
"Dan kamu orang terbaik bagiku." 
"Tak usahlah berlebihan Vi." 
"Aku tak berlebihan ko, memang seperti itu adanya kan, selama ini, kamu selalu ada untuk aku, di saat aku membutuhkan bantuan, kamu selalu siap untuk menolongku, entah apa yang bisa kulakukan untuk membalas semua ini." 
"Aku iklas ko, tak usah kamu merasa kalau kamu memiliki hutang budi kepadaku." 
"Tapi
aku ingin..." 
"Sudahlah Vi, aku tak ingin kita membahas itu, ok! Oh ya gimana hubunganmu dengan Sam?" 
"Fine!" 
"Syukurlah kalau gitu, dia beruntung dapat wanita seperti kamu. Dan kamupun beruntung memilikinya. Kalian pasangan serasi." 
Vika tersenyum kecil. "Nah kamu sendiri, kapan dunk punya cewek?" 
"Kalau cewek yang sedang deket sih ada, tapi aku gak bisa sepenuhnya mencintai dia, makanya sekarang aku tak ingin menjalin hubungan lebih."
"Memang, ada kalanya kita tak bisa menjalin hubungan serius ma seseorang, tapi itu pasti ada alasannya, trus penyebab kamu seperti itu kenapa?" 
"Sebenarnya aku pengen banget cerita ma kamu, tapi aku takut kamu salah arti." 
"Kalau kamu pengen curhat, cerita aja, aku seneng ko bisa jadi adik sekaligus sahabat kamu, selama ini kamu banyak menolong aku, sekarang giliran aku yang mencoba bantu kamu." 
"Sebenarnya, keinginanku untuk memiliki cewek ada, tapi gak bisa." 
"Iya, masalahnya kenapa? Perasaan dari tadi kamu bolak balik bicarain itu." 
"Karena aku tak bisa lupain kamu Vi." 
"Ma... Maksud kamu gak bisa lupa ma aku?" 
"Aku tak bisa melupakan semua perasaan aku padamu." 
"Maksudnya kamu masih sayang aku?" 
Aku mengangguk pelan. 
"Jujur An, aku senang kalau kamu mau jujur ma aku kalau kamu masih sayang aku, tapi kenapa?" 
"Aku sendiri gak tahu kenapa gak bisa lupain kamu, coba kamu pikir, jika ada seseorang yang begitu berarti buat kamu, pasti kamu juga bakal seperti aku. Kebetulan orang yang begitu berarti bagi hidup aku itu ya kamu, 
kamu tahukan Vi, sudah berapa kali aku coba menjalin hubungan, tapi selalu gagal, aku selalu beralasan gak cocok, memang itu adanya, aku memang tak pernah bisa sayang sepenuhnya, karena hati aku masih ketutup ama perasaan aku yang dulu pernah ada untuk kamu, sekarang aku sendiri tak tahu mesti bagaimana." 
"Aku setuju dengan satu hal, kalau kita memang tak bisa begitu saja melupakan seseorang yang pernah begitu berarti di kehidupan kita, tapi kenapa perasaan kamu masih ada buat aku, padahal kamu sendiri tahu keadaan aku saat ini." 
"Perasaan aku ini tak bisa di hubungkan dengan hubungan kamu dengan Sam, ini hanya perasaan pribadiku, perasaan yang tak pernah mau melihat bagaimana keadaan yang sebenarnya. Tapi sekarang aku hanya bisa tunduk ama takdir yang akan membawaku." 
"An, meski Tuhan telah menggariskan satu jalan, tapi Dia tetap ingin kamu untuk berusaha. Jangan kamu menjauh dari kenyataan, sebelum Tuhan menjodohkan kamu dengan seseorang, dia pasti akan mempertemukan dahulu denganmu, memperkenalkan pribadi satu sama lain, kamu tak akan pernah tahu, siapa orang itu. Kamu mungkin tak tahu, bagaimana perasaan aku ketika aku pertama aku jadian ma Sam, aku memilih dia karena aku ingin membuka hati aku, membuka jalan kepada orang-orang yang mungkin saja sudah di takdirkan untuk aku. Kamu harus maju An, kamu harus bisa membuka hati kamu, untuk orang-orang yang mungkin sudah di pilihkan Tuhan untuk kamu sayangi." 
"Aku akan coba untuk itu." 
"An, kamu ingin tahu bagaimana perasaan
aku ke kamu sampai saat ini? aku juga masih sayang kamu An, tapi sayang aku ini hanya bisa aku berikan untuk melihat kamu sukses dan bahagia, itu saja. Harus kamu tahu, kamu orang pertama yang memperkenalkan aku bagaimana seharusnya menjalani cinta yang sebenarnya, dari kamu aku jadi tahu arti ketulusan dalam menjalin sebuah hubungan. Kamu orang terbaik yang pernah ada di hidup aku. Tapi aku sadar, Tuhan hanya memberi waktu sampai segitu saja untuk kita bersama, mungkin dia mempunyai rencana lain untuk kita. Andaikata kita memang jodoh, mungkin kita akan dipertemukan kembali." 
Aku tak menimpalinya, mencoba mencerna kata-kata yang telah Vika bicarakan, kini, gelap telah menyelimuti kota ini, mentari tlah sepenuhnya menghilang di ufuk barat, dan cahaya-cahaya lampu kota yang mencoba menggantikan perannya itu. Kami masih membisu, Vika terlihat masih bermain dengan perasaannya, seperti apa yang aku lakukan ini. 
"Kamu tahu tanggal berapa sekarang?" Aku mencoba kembali berbicara. 
"19 Februari." 
"Masih ingat ada kejadian apa 2 tahun yang lalu di tanggal ini." 
Vika menggeleng 
"Tepat 2 Tahun yang lalu, di tempat ini, kau memintaku untuk mengakhiri hubungan kita ini, mencoba mengubur semua angan yang telah kita bangun bersama." 
Vika terdiam, seakan mencoba mengingat semua itu. 
"Kenangan itu tak akan pernah aku lupa." 
"Tapi setidaknya sampai saat ini kita masih bersama kan, itu hanya merubah status kita saja An, bukan untuk berpisah. Bukannya kita lebih merasa nyaman seperti
ini?" 
"Selama ini aku memang tak pernah mau jujur sama perasaanku sendiri, apalagi sama kamu. Perasaanku tak sama dengan perasaanmu." 
"Maksudnya?" 
"Selama ini, aku adalah temanmu Vi, teman untukmu berbagi cerita dan semua perasaanmu, tentang bagaimana hubungan kamu dengan Sam dan berbagai dilematikanya. Selama ini pula aku mencoba membantumu, untuk selalu mempertahankan cintamu dengan Sam, tak terasa kan 2 tahun sudah kau menjalin hubungan itu, namun ada satu yang tak pernah kamu sadari, kalau selama kamu menceritakan kisahmu itu bersama Sam, ketika kau bilang bahwa Sam adalah cowok yang selama ini kamu cari, bahwa hubunganmu dengan Sam mungkin akan berlanjut kepada hubungan yang serius, sebenarnya selama ini aku terluka, hatiku sakit Vi. Kamu tahu kenapa? Karena aku masih sayang kamu Vi, karena hati kecil aku tak ingin kehilangan kamu, namun aku tak ingin egois, selama ini aku mencoba mensuport kamu agar tetap awet bersama Sam, karena aku tahu kebahagiaan mu ada di sana, biarlah aku yang sakit, yang utama adalah kamu dapat bahagia dengan lelaki yang telah menjadi pilihanmu. Karena yang aku ingin adalah kebahagiaanmu, dan selama ini aku tak peduli dengan rasa sakit ini. Tapi sekarang aku sudah tak kuat Vi, aku pikir sudah cukup aku untuk ada untukmu, hari ini aku putuskan untuk pergi dari kehidupan kamu Vi." 
"Kamu ingin memutuskan tali persahabatan ini? kenapa?" 
"Vi, dari awal, kita memang sudah bermain dengan hati kita, berbeda dengan sahabat-sahabat kita masing-masing
yang berhubungan tanpa menggunakan hati, selamanya kita akan terus menggunakan hati, satu hal yang menjadi pikiranku, selama ini, selama kau berhubungan denganku, kamu selalu bilang bahwa Sam tak pernah tahu. Dan kamu selalu bersembunyi dari setiap orang jika ingin bertemu denganku, aku tahu, itu kamu lakukan karena kamu takut hubungan mu dengan Sam akan rusak hanya karena ada yang tahu bahwa kamu menemui aku, semua lelaki sama Vi, mana ada yang rela jika tahu pacarnya masih sering berhubungan dengan Mantannya. Aku tak ingin menjadi perusak bagi hubungan kamu dengan Sam, maka dari itu, aku memilih untuk mundur." 
"Kenapa kau berfikiran seperti itu, enggak An, kamu sama sekali bukan penghalang bagi hubunganku dengan Sam, justru selama ini kamu yang telah menjadi penolong." 
"Dan kamu tak pernah mengerti dengan perasaanku, karena bagi kamu perasaan Sam jauh lebih berharga, memang seperti itulah seharusnya kan?" 
"Kamu orang yang berharga bagi aku An." Kulihat mata Vika mulai berkaca-kaca. 
"Aku bukan apa-apa bagi kamu Vi, aku hanya Mantan, hanya Sejarah yang seharusnya jadi kenangan saja, bukan dewa penolong bagi cinta kamu, aku manusia yang juga punya perasaan, yang sama sepertimu, yang pasti akan menjerit jika aku merasa sakit." 
"Jadi apa yang kamu inginkan?" 
"Vi, hidup ini pilihan, tak semua yang kita inginkan harus kita gapai, aku yakin, Sam itu orang yang tepat untukmu, maka jagalah perasaannya, maka kebahagianmu akan ada di dirinya, bukan didiriku. Mulai hari ini, aku
mungkin tak akan menghubungi kamu lagi, aku ingin kamu menjalani hubungan ini tanpa ada bayang-bayang dari aku. Kamu harus tahu, meski begitu, aku di sini akan selalu berdoa untuk kamu. Dan akan selalu mengenangmu." 
"Tapi aku boleh menghubungi kamu?" 
Aku menggeleng. "Nomer HP aku sudah aku ganti, hanya orang-orang tertentu yang tahu." 
"Kenapa kamu seolah membuangku seperti ini?" 
"Aku bukan membuang kamu Vi, hanya kamu harus mengerti akan perasaanku, yang akan tersiksa jika seperti ini terus." 
"Kamu tak ingin berubah pikiran?" 
"Enggak Vi, ini sudah lama ingin aku lakukan, hanya menunggu waktu yang tepat, saat ini cukup rasanya aku membimbing kamu, dan aku yakin kamu bisa hidup jauh lebih baik tanpa aku." 
Vika terdiam, beberapa butir air mata mulai bergulir di pipi lembut gadis itu. "Aku tak menyangka kamu mempunyai pemikiran seperti ini, aku pikir kamu bisa menjadi sahabat terbaik dalam hidupku, namun kamu malah memilih pergi." 
"Vika dengar, ini untuk kebaikan kamu juga." Aku memberanikan diri mengambil lengannya dan mulai menggenggamnya. 
"Tapi aku tak ingin kehilanganmu." Tak kusangka Vika memeluk erat tubuhku. "Bukannya tadi kamu bilang bahwa kamu masih sayang padaku?" 
"Vika dengar." Perlahan aku melepas pelukan itu. "kamu tak akan pernah kehilanganku, karena aku akan selalu ada disini, kamu boleh menghubungi aku kapan saja sesuka hatimu, asalkan kamu memang tidak dalam posisi seperti sekarang ini." 
"Maksudnya aku boleh menghubungi kamu jika aku putus dengan Sam." 
"Ya,
tapi bukan berarti aku menyuruhmu memutuskan hubungan mu dengan Sam hanya karena aku, biarkan saja ini mengalir layaknya air, seperti yang pernah kamu sampaikan. Toh kalau kita jodoh, mungkin kita akan bertemu kembali kan?" 
"Trus gimana kalau seandainya kamu sudah memiliki cewek? Aku tak boleh menghubungimu?" 
"Itu balik lagi ke pribadi kamu Vi. Ini sudah malam, sebaiknya kamu pulang Vi, Sam pasti mencari kamu." 
Vika melirik jam di lengannya."Aku pamit An." 
"Jaga diri kamu ya, lakukan yang terbaik untuk orang-orang yang menyayangi kamu. Aku sayang kamu Vi." 
Vika mengangguk, di balikkannya tubuhnya dan mulai berjalan menjauhiku. 
Malam ini, ingin ku habiskan waktu di tempat ini, tempat yang telah banyak bercerita tentang kenangan dalam kehidupanku. Perih hati ini begitu menyengat, membuatku tak dapat menahan laju air mataku. Untuk kesekian kalinya aku harus menguras mataku karena Vika, aku masih ingin bersama Vika, namun keadaan tak mengijinkanku untuk itu, sudahlah, dia memang bukan untukku. 

* * * 

Hujan sudah reda dari tadi, namun nampaknya mentari masih malas bersinar, dia masih asyik berselimut di balik mega tebal yang menggulung di atas sana, membuat udara siang ini cukup dingin, belum lagi ditambah angin gunung yang tak henti berhembus. 
Hari ini seperti biasa, aku berdiri di lantai 16 ini, sekedar untuk membuang jenuh dari semua pekerjaanku yang menumpuk. 
Setengah tahun sudah aku tak mendengar segala kabar mengenai Vika, tak ada lagi sapaan atau SMS dari
Vika di Handphone ku ini, wajarlah, Vika kan tak tahu nomor baru aku ini. terkadang aku memang penasaran bagaimana kabar dia sekarang, namun aku sudah membuat keputusan ini. 
Aku di kagetkan oleh dering Handphone ku, segera ku raih benda itu dari saku jeans yang aku kenakan. 
"What's up bro?" aku segera menjawab telp itu ketika ku tahu Bayu sahabatku yang menghubungiku. 
"Lo kemana aja sih?" 
"Kerja! emangnya kenapa?" 
"HP lo ko gak aktiv, gw coba hubungin lo dari tadi." 
"Sorry bro, HP gw lowbat, makanya gw matiin. Emangnya ada apa lo nyariin Gw? Tumben!" 
"Vika tuh!" 
"Vika? Kenapa dengan dia?" 
"Dia nanyain lo." 
"Oh ya!" 
"Girang ya, lo di tanyain ama Vika. Oh iya, dia juga pengen ketemu lo tuh. Dia kangen kali ma lo." 
"Ah jangan bikin gw geer donk!" 
"Siapa yang bikin lo geer, nampaknya bentar lagi Vika ke tempat lo deh, eh lo dimana sekarang?" 
"Di Apartemen gw. Ntar, Vika mau ke apartemen gw?" 
"Tadi gw saranin dia buat nemuin lo langsung aja, dari pada dia nanya gw mulu, katanya sih dia bakal ke sana sekarang!" 
"Emang mau ngapain dia ketemu gw?" 
"Ya mana gw tau, tanyain aja ma orangnya langsung." 
"Ya udah deh, Thank ya bro!" 
"Seep, baek-baek ma dia ya, emh nampaknya bakal ada yang CLBK deh." 
"Siaul!" 
Bayu memutuskan hubungan telp itu, dan aku kembalikan HP aku ke saku jeans ini. 
Vika, dia mau nemuin gw lagi, kenapa? Bukannya selama ini kita sudah nyaman dengan kehidupan kita masing-masing. 
"Fian." Tiba-tiba saja ku dengar suara Vika. 
Kulihat Vika telah berdiri
tepat di belakangku."Vika, kamu..." 
"Apa kabar An? 
"Vi, kenapa kamu tiba-tiba ada di sini?" 
"Jika kamu tak menginginkan aku ada disini, aku bisa pergi sekarang." 
"Bu... Bukan itu maksudku." 
"Kenapa sih An? Kenapa selama ini kamu mesti menyiksa dirimu sendiri dengan perasaanmu, kenapa kamu tak pernah mau memperjuangkan apa yang kamu inginkan, sebagai cowok sudah sepantasnya kamu memperjuangkan itu semua." 
"Aku gak ngerti maksud kamu." 
"Bayu sudah cerita semuanya. Selama ini, semenjak kamu memutuskan untuk memutuskan tali persahabatan kita, kamu menjadi sosok lain, kamu lebih sering menyendiri di banding berkumpul dengan teman-teman kamu, kamu lebih senang dengan bermain dengan pikiranmu sendiri di banding bertukar pikiran dengan orang, kenapa An, kenapa kamu jadi sosok seperti itu, kemana wujud Fian yang dulu aku kenal, sosok yang begitu bersahabat dan hangat kepada semua orang." 
"Kenapa kamu tanyakan itu?" 
"Karena aku masih peduli kamu An?" 
"Tak ada yang harus kamu pedulikan dari diri aku Vi, aku bukan siapa-siapa buat kamu." 
"Enggak, bagi aku kamu tetap orang yang teristimewa." 
"Teristimewa? Sam jauh lebih istimewa buat kamu kan?" 
"Berhentilah berbicara tentang Sam, dia bukan siapa-siapa aku lagi kini." 
Aku berhenti sejenak,"Kamu sudah..." 
"Ya aku sudah putus dengan dia, aku tetap menghargai komitment kamu saat itu, dimana kamu bilang aku boleh menghubungi kamu lagi jika aku sudah dalam posisi seperti ini kan?" 
"Kenapa kamu putus? Sam menghianati kamu?" 
"Dia
tak pernah menyakiti aku sedikitpun, dia pun tak pernah berbuat satu kesalahanpun, namun aku tahu, awal yang salah telah dia perbuat, aku baru sadar, aku memutuskan kamu dulu karena aku tergoda oleh Sam, padahal dia tahu, aku masih dengan kamu saat itu, namun Sam selalu berusaha menarik perhatian aku, sampai akhirnya aku luluh pada dirinya, dan aku memilih untuk mengakhiri hubungan kita." 
"Jadi alasan itu yang sebenarnya kenapa kamu tak ingin meneruskan hubunganku." 
"Maafkan aku An, aku tahu, aku salah, maka dari itu aku kini sadar, siapa yang seharusnya aku pilih, kemarin aku lihat Sam memang lelaki yang begitu sempurna di mata aku, namun kini aku sadar, ada lelaki yang jauh lebih sempurna dari Sam, yang telah banyak berkorban buat aku. Bodohnya aku yang menyia-nyiakan mu selama ini." Vika segera menghampiriku."Fian, izinkan aku untuk kembali bersamamu, aku ingin kita kembali menyusun lembaran hidup bersama!" 
"Jadi kamu mau aku jadi pacar kamu lagi?" 
Vika mengangguk."Tapi aku ingin kamu jadi sosok seperti dulu lagi, bukan sosok Fian yang bayu ceritakan." 
Aku memeluk tubuh gadis itu, erat aku peluk, kenyamanan ini kembali aku dapat dari gadis itu, Davika Diyanti, gadis yang selalu aku damba kini telah kembali ke dalam pelukanku.