Cinta yang Terakhir



Diliriknya gadis itu, dia sadar dia mungkin hanya bermimpi untuk itu, namun sebuah harapan yang telah lama diendapkan dalam hatinya tak pernah ia bersihkan.

Dalam diam dia terus mencari, mencari sebuah harapan. Dalam tumpukan sampah sebuah cinta yang telah lama di buang. Terkadang itu selalu membuatnya malah terhanyut didalamnya.

Waktu telah lama tergantikan, namun nama gadis yang sedang dia pandang itu masih terus tersimpan, dia tak mungkin bisa melupakannya begitu saja.

"Maafkan aku Ga, kamu memang tidak salah, namun keadaan yang telah memaksa aku untuk buat keputusan ini. Bukan aku tak menghargai empat tahun kebersamaan kita, namun aku merasa kita memang sudah tidak lagi sejalan, tak ada gunanya kita terus mempertahankan hubungan ini jika akhirnya harus ada yang terluka."

"Kamu tak tahu bagaimana terlukanya aku dengan keputusan mendadak kamu ini."


"Aku juga terluka Ga, keputusan ini sudah lama aku rancang dan sudah aku pikir matang, aku rasa ini adalah hal yang paling terbaik untuk kita berdua."

"Untuk kamu, bukan untukku..."

"Ringga, coba kamu pikir, dari pada kita ngelanjutin hubungan seperti ini terus, hambar. Ga ada gunanya, aku gak mau ngejalanin hubungan hanya pura-pura saja, kelihatan mesra di mata orang padahal sebenarnya enggak. Buat apa? Gak ada gunanya."

"Saat ini kita dalam masa jenuh saja Na... aku yakin beberapa bulan kedepan juga hubungan kita bakal normal lagi."

"Seberapa besar keyakinan kamu ? Aku gak yakin buat itu."

"Masih ingat di tahun pertama hubungan kita ? saat itu kita hampir saja putus, namun aku terus ngeyakinin kamu kalo kita bisa ngebenahi hubungan kita, lihat kan bagaimana hubungan kita itu sampai sekarang ?"

"Namun itu laen Ga."

"Laen gimana ?"

"..."

"Laen, karena sekarang ada Irwan."

"Ko kamu jadi nuduh gitu sih?"

"Aku gak nuduh?"

"Yang kamu ucap tadi ?"

"Sebenarnya yang berubah itu kamu, bukan aku, selama ini aku masih ngejalanin hubungan ini biasa saja. Namun semenjak kamu dekat dengan Irwan, semua berubah."

"Aku gak senang kalau kamu mulai menyangkut pautkan semua ini. Selama ini aku hanya menganggap Irwan hanya sebagai partner kerja aku aja, gak lebih."

"Seorang ketua dan sekretaris dalam panitia ospek gak pernah sampai sedekat itu."

"Ringga cukup! Pembicaraan kita sudah keluar jalur, gak lucu kamu ngebahas itu saat ini."

"Aku sudah lama mengenal kamu Luna, aku begitu paham dengan tingkah dan prilaku kamu, baik buruknya kamu, dan aku merasakan ada hal yang lain melihat kamu menyikapi kedekatan mu dengan Irwan."

"Terserah kamu mau nilai aku apa, yang pasti keputusan aku tak mungkin dapat aku ubah, awalnya aku ingin kita berpisah secara baik-baik, tapi kalau pemikiran kamu sudah melenceng seperti ini, aku gak tahu harus gimana. Maafkan aku Ga, aku rasa hubungan kita sampai disini saja."

"Tapi Na... "

"Sudahlah, gak ada gunanya saling debat lagi, sekarang sudah saatnya kita jalani hari kita masing-masing. Selamat tinggal Ga."

Itulah kata-kata yang terus membekas di hatinya, kata-kata yang begitu menyakitkan baginya namun enggan untuk di buang olehnya.

Namun yang lebih menyakitkan lagi baginya, adalah apa yang dia duga selama ini memang benar terjadi.

Seperti apa yang dia dengar sore kemarin dari mulut seorang temannya, kalau saat ini Luna sudah resmi jadian dengan Irwan.

Kepedihan itu semakin membuat dirinya terus terpuruk. Dia terus membenamkan dirinya dalam tumpukan kepedihan sebuah cinta.

Tak wajar dilakukan oleh seorang cowok seperti Ringga, namun lelaki juga punya perasaan, yang terkadang sama halusnya dengan perasaan wanita. Tak ada larangan yang menyatakan lelaki tak boleh menangis ketika hatinya terluka.

Kemarin dia sudah berjanji kalau dia akan menghapus wujud Luna dari pikirannya, hal itu terus-menerus ia kemukakan kepada sahabat-sahabatnya yang terus membujuknya untuk bangun dari keterpurukan itu.

Namun tak pernah terbayang olehnya kalau melupakan seseorang yang begitu ia cintai tak semudah membalikkan telapak tangan, mungkin ia bisa melupakan sosok luna ketika dia sedang di kelilingi temannya, tapi apa yang dia temukan ketika dia termenung sendiri di kamarnya? Atau ketika dia secara tak sengaja (atau di sengaja) berada di tempat-tempat yang sering dia habiskan waktu berdua bersama Luna. Sosok Luna begitu melekat hebat di hatinya, bagaikan di lem dengan sangat kuat yang ketika ia mencoba untuk melepasnya secara paksa hanya menimbulkan luka di hatinya.

Siang ini mentari tak begitu terik memancarkan cahayanya, namun cukup membuat pengap udara disini. Tak banyak orang yang ingin memakai jaket di udara se-pengap ini, namun tidak untuk Ringga, ia masih merasa nyaman dengan jaket yang melekat di tubuhnya itu.

Terkadang ia benarkan letak kacamata minus yang selalu menghias muka tirus pria itu. Rambut lurus pendek dengan poni tipis melintang jidatnya sesekali bergerak tertiup angin.

Sebenarnya dia sudah tak nyaman duduk di situ, namun ada sesuatu yang menguncinya untuk tetap terdiam di sana.

Tak lain itu karena Luna, dari kejauhan tanpa di ketahui Luna, Ringga terus memperhatikan sosok gadis itu.

Luna tak sendiri, di sampingnya Irwan setia menemani setiap tindakan Luna.

Ini menambah perih luka yang terus di biarkan menganga oleh Ringga. Ia masih berharap kalau dia bisa kembali berada dalam posisi Irwan kini. Yang ironisnya dia pernah ada dalam posisi itu dulu.

"Sudahlah Ga, gak sepantasnya Kamu terus seperti ini." Andika teman dekat Ringga, tiba-tiba saja duduk di sampingnya.

"Dia gak tahu gimana Aku begitu mencintainya."

"Sampai kapanpun Kamu akan terus terpuruk jika Kamu memang gak mau bangkit, gak ada gunanya Kamu terus seperti ini. justru ini bakal bikin Luna merasa menang, Kamu cowok Ga. Perlihatkan ketegaran Kamu sebagai seorang cowok di depan Luna, tunjukan padanya bahwa Kamu bisa bahagia tanpa dirinya."

"Munafik kalau Aku melakukan itu, Aku sangat mencintai Luna, tak mungkin Aku berpura-pura bahagia dalam kondisi Aku seperti sekarang ini."

"Itu karena Kamu belum bisa meng-iklas-kan apa yang menimpa diri Kamu. Biarkan Luna sekarang, dia bukan jodoh Kamu, masih ada jutaan wanita lain yang masih mungkin menjadi pacar Kamu. Air mata gak akan bisa menyelesaikan masalah, dia hanya peringan beban Kamu aja, kalo Kamu pengen keluar dari semua ini, bebaskanlah diri Kamu, lepaskan semua masa lalu Kamu, melangkahlah dengan melihat kedepan, jangan hanya melihat kebelakang, Tuhan telah menggariskan jalan hidup seseorang, biarkan ini semua mengalir."

"Tapi sampai kapan Aku mesti terpuruk seperti ini?"

"Nanti waktu yang bakal menjawabnya, yakinlah, seseorang masih menunggu Kamu di sana, raihlah dia, Aku percaya Kamu, kalau Kamu bisa melakuin apa yang Aku ucap tadi."

* * *

Ringga termenung menatap layar telepon selular-nya, untuk pertama kali-nya dalam 8 bulan terakhir ini, dia menerima pesan singkat (SMS) dari Luna.

"Halo Ringga, gmn kbr km? Baek kan?"

Cukup singkat memang, namun cukup membuat semua perasaan yang dahulu di pendamnya kembali muncul.

Luna, memang belum bisa menjadi wanita -biasa- bagi Ringga, dia masih tetap seorang yang istimewa, namun keadaan yang memaksanya untuk menganggap bahwa Luna bukan lagi orang istimewa baginya.

8 bulan ini dia berhasil memendam semua angannya akan Luna, perlahan dia bangkit dari keterpurukannya itu dengan menyibukan diri di organisasi kampusnya.

Berhasil memang, dengan kegiatannya yang padat dan mengenal orang-orang baru membuatnya lupa akan sosok Luna. Bahkan diam-diam dia mulai menaksir salah satu teman di organisasi itu, tinggal selangkah lagi, ia mungkin bisa memiliki Asty, gadis yang sedang dipujanya itu.

Namun sayang, kini dia harus kembali mengingat Luna, akibat pesan singkat yang baru saja ia terima itu.

Dia masih terus memandangi layar mungil Hanphone itu, berulang kali dia baca pesan singkat itu, seakan tak percaya kalau Luna baru saja mengirimkan SMS untuknya. Ia memang tak pernah menyangka kalau Luna akan menghubunginya kembali.

Sesaat dia segera menekan tombol Reply namun ia urungkan niatnya untuk membalas pesan itu. Segera ia lemparkan benda itu ke atas tempat tidurnya. Dan beranjak meninggalkan kamarnya.



* * *

Tuhan, fikirku letih bertanya

Instingku letih mengetuki intuisi

Mengapa belum juga

kujumpai pertanda

Kuresapi satu persatu

Waktu yang tertinggal

Hingga malam

Masih teragungkan

Kata cinta darimu

Kuharap kau

Tak kan mencari saksi

Dari semua itu

Tanya saja hati kecilmu

Dan sampaikan

Dengan sejujurnya

Akan kutelan

Meski sepahit apapun

Kejujuranmu adalah penawar

Dari segalanya

Detik demi detik menari

Seolah mencela langkahku

Yang terhenti di kata cintamu

Dan kini aku menunggu

Hingga kelu...kau tak tahu itu

Rg 4L

Seuntai puisi baru saja selesai di buatnya, entah untuk siapa puisi itu akan ditujukan, yang pasti sebuah kejelasan akan sebuah tanya yang selalu melingkupinya kini.

Dia terlonjak kaget ketika Handphone -yang di letakkan di dekat keyboard yang dia gunakan untuk mengetik puisi itu- berbunyi.

Rupanya itu tanda pesan singkat yang baru saja dia terima. Sebelum dia membuka SMS itu sudah jelas tertera nama pengirimnya. Luna, ya dia kembali mengirimkan pesan singkat. Bulan ini sudah hampir 8 kali dia mengirimkan sms untuk Ringga, namun tak satupun SMS yang di balas oleh Ringga.

Ringga tak ingin kembali terjebak ke dalam perasaan itu. Dia ingin sepenuhnya melepas rasa yang pernah melekat di diri Luna, dia ingin menjadikan Luna hanya sebagai masa lalunya saja.

Dia terlampau letih untuk patah hati. Walaupun dia belum pernah melupakan rasa sayangnya terhadap Luna.

Dia biarkan itu masih tetap ada, karena dia ingin jika kelak dia mencintai seseorang dia dapat mencintai setulus cinta dia terhadap Luna.

Ringga masih membaca pesan yang baru saja ia terima itu, namun nasib dari pesan itu nampaknya akan sama dengan pesan-pesan lainnya, dia hanya membiarkannya begitu saja tanpa ada niatan darinya untuk membalas.

Diletakkannya benda mungil itu di tempatnya semula, kini, matanya kembali ditujukan kepada puisi yang baru saja di ketiknya, di layar komputernya itu dia jelajahi kata demi kata dari puisinya itu, diperiksanya kembali agar tidak ada kesalahan pengetikan.

Namun konsentrasinya kembali terganggu, karena Hanphone itu kembali berbunyi, namun kini bukan pesan singkat, namun panggilan telp, dilihatnya siapa pemanggil di layar handphone itu. "Luna" di ucapkan pelan nama itu, ketika matanya menangkap nama Luna yang tertera.

Di timangnya benda itu, seakan dia ragu untuk apa yang akan di perbuatnya. Namun ia segera menekan tombol call untuk menerima panggilan itu.

"Halo." Ragu dia berkata.

"Ringga?" terdengar suara renyah milik Luna di seberang sana.

"Yup."

"Hai, apa kabar ?"

"Baik... "

"Kemana aja sih ? ko gak pernah bales sms aku."

"Oh itu... sorry, aku gak punya pulsa." Di pilihnya jawaban itu, karena dia pikir itu adalah jawaban yang paling rasional dan dapat langsung di terima, walau sebenarnya kejujuran tak terkandung dalam kalimat itu.

"Kirain kamu dah gak mau ngehubungin aku lagi. Lagi ngapain ?"

"Biasalah, maenin komputer."

"Masih suka bikin puisi nih ?"

"Begitulah!"

"Kamu gak pernah rubah ya. Kamu ama siapa sekarang ?"

"Maksudnya ?"

"Iya pacar kamu siapa ?"

"..."

"Halo... Ringga... masih disana."

"Iya..."

"Kok diem..."

"Kenapa kamu tanyain itu."

"Gak kenapa-napa, pengen tahu aja."

"Aku belum punya pacar, yang lagi deket sih ada, tapi kita belom jadian. Kamu sendiri ?"

"Jomlo."

"Kapan putus ma Irwan?"

"Dua bulan lalu."

"Pantes."

"Pantes kenapa ?"

"Pantes kamu hubungi aku lagi."

"Ringga, kamu mulai ya berfikiran jelek lagi ma aku."

"Sorry, bukan itu maksudnya, tapi kamu kan udah gak ada cowok, jadi bebas aja ngehubungi mantan. Ya kan ?"

"Hehehe iya sih... eh, akhir-akhir ini aku perhatiin kamu sibuk banget."

"Emang kamu suka perhatiin aku ?"

"Enggak, suka liat aja kamu bolak-balik kantor BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa)."

"Iya, aku jadi pengurus BEM."

"Emh, pantes. Enak ya kenal banyak orang."

"Lumayan lah."

"Emh... Ringga."

"Iya, apa ?"

"Besok kamu ada kerjaan."

"Gak tahu ya, gak pasti sih, emangnya kenapa ?"

"Aku pengen ngajak kamu ketemuan aja, bisa ?"

"Aduh gimana ya ? liat besok aja, gini deh, besok pagi aku telepon kamu kalo emang aku gak ada kerjaan, gimana ?"

"Ok. Udah dulu ya, di tunggu kabarnya besok. Bye."

* * *

Ringga memutuskan untuk tidak akan bertemu dengan Luna pagi itu, sakit di hatinya yang dulu pernah menyerangnya kembali terasa.

Ringga mulai menduga, kalau Luna berharap untuk kembali lagi menjalin hubungan dengannya, sebagai seorang lelaki ia tak ingin di permainkan seperti ini oleh hanya seorang wanita.

Dugaannya bahwa Luna merasa tidak mendapatkan apa yang dia impikan dari seorang Irwan, Luna pikir Irwan akan menjadi lelaki yang jauh lebih baik untuk Luna, dan ketika ternyata hal itu berbalik dengan kenyataannya, Luna berkeinginan untuk kembali lagi kepada Ringga.

Ringga tak ingin hanya menjadi bahan permainan cinta Luna, meskipun dia masih sayang Luna, namun harga dirinya jauh mengalahkan rasa itu.

Sehingga saat ini Ringga mengambil keputusan untuk menjauhi Luna, dia tak ingin untuk kedua kalinya terjebak dalam sekam cinta Luna.

Nyaris dua bulan dia hanya membiarkan usaha Luna untuk menghubungi Ringga, dia acuhkan semua telepon Luna, dia berusaha tak pernah membalas SMS Luna, dan selalu menghindar jika bertatap muka dengan Luna.

Usaha keras Luna tak menggoyahkan tekad bulat Ringga untuk bisa melupakan Luna dari hidupnya.

Sampai akhirnya Luna menyerah, dia harus bisa menghapus mimpinya untuk dapat kembali menjalin hidup bersama dengan Ringga.

Lama Ringga tak lagi menemukan SMS atau dering telepon dari Luna kini. Terkadang dia merindukan hal itu, karena memang itu bukan hal yang dibencinya.

Kini dia hanya termenung, memikirkan kembali apa yang telah diperbuatnya kepada Luna, wanita yang begitu istimewa di hatinya sedang berusaha untuk mengejarnya kembali, namun tak pernah di tanggapinya.

Dia tahu dia salah telah melakukan itu, tak seharusnya dia sampai demikian memperlakukan Luna.

Luka Luna dapat dia rasakan kini, malah jauh lebih sakit dibanding ketika hatinya terluka akibat ulah Luna dulu.

Kebimbangan kini menyelimutinya apakah dia harus berbalik menghubungi Luna ?

Tak salah memang jika dia melakukan itu, justru itu kan yang memang didambakan Luna selama ini.

Saat itu selepas makan malam, Ringga membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Alunan musik Lembut terlantun dari komputer yang sedari siang tak pernah dia matikan.

Jemari tangannya sibuk menekan tombol-tombol dari Handphone yang di genggamnya itu, dia kembali membuka pesan-pesan lama, pesan dari Luna yang diam-diam tak pernah dia hapus dari inbox handphone itu.

Dia sedang merindukan Luna, dia sadar, Luna memang bukan orang yang pantas dia lupakan. Luna masih menjadi bagian yang paling berharga bagi hidupnya, kemanapun langkahnya mengayun, Luna selalu menyertai dalam pikirannya.

Dia masih mencintai Luna.

Kini dia bertekad untuk menghubungi balik Luna, harapnya Luna masih menyimpan rasa yang sama terhadapnya.

Di carinya nama Luna di Phonebook, ketika nama itu telah di temukan, segera ditekannya tombol call, dengan hati berdebar di tunggunya panggilannya itu tersambung.

Namun... gagal. Hanya nada sibuk yang dia temukan.

Ah mungkin Hanphone Luna sedang dipakai, pikirnya. Dia menunggu beberapa saat, kemudian diulang kembali usahanya untuk menghubungi Luna.

Kembali gagal. Malah kini terdengar suara komputer yang menjelaskan bahwa telepon yang dihubungi sedang tidak aktiv atau berada di luar jangkauan.

Dia sempat bertanya, kemana Luna ?

Namun dia hanya bisa menyangka kalau malam ini Luna memang sedang mematikan Handphone-nya.

Terbesit di benaknya untuk mencoba menghubungi telepon rumah Luna saja. Namun biarlah, masih ada hari esok.

Rasa mengantuk kini menyerangnya. Matanya mulai dipejamkan sampai akhirnya dia mulai tertidur.

Belum lama dia memejamkan matanya itu, dia di kagetkan oleh dering Handphone yang di letakkan di meja samping tempat tidurnya.

Dengan malas dia meraih benda itu, dan dilihatnya siapa yang menelponnya itu.

Rupanya penelpon itu Andika.

"Halo Ga, Kamu lagi dimana ?"

"Hmm apaan ?" dia belum bisa membangunkan dirinya sepenuhnya dari tidur itu.

"Kamu lagi dimana."

"Di rumah, emangnya kenapa ?"

"Bisa ke rumah Aku sekarang ?"

"Kamu gila ya, ini udah malem bro."

"Gak masalah lah."

"Emangnya ada apa sih ? nada bicara Kamu ko tegang gitu."

"Ada yang musti Aku sampein ke Kamu sekarang juga."

"Tentang apa ?"

"Aku gak bisa cerita di telp. Pokoknya Kamu ke rumah Aku sekarang."

"Gak ah, Aku capek, lagian kenapa sih mesti di rumah Kamu."

"Ya udah gini aja, Aku ke Rumah Kamu sekarang."

"Ya udah kesini aja sekarang."

"Ok tunggu ya, Aku berangkat sekarang."

Hanya berselang 30 menit Andika sudah berada di kamar Ringga kini.

"Ada apa sih, kok Kamu jadi ribet gitu." Ringga langsung menyapa Andika.

"Kamu ikut Aku sekarang."

"Kemana ?"

"Pokoknya Kamu ikut dulu aja, nanti Aku jelasin di jalan."

"Iya, tapi ini buat apa ?"

"Buat Kamu dan Luna."

"Luna ?"

"Udah gak usah banyak tanya, sekarang Kamu mau ganti baju dulu ato langsung berangkat ?"

"Nanti Aku ambil dulu jaket. Emang kita mau kemana ?"

"Liat aja ntar."

Andika segera keluar yang diikuti oleh Ringga.

Di belakang kemudi mobil ini, tanpa berbicara Andika terus melajukan kendaraan itu melintasi jalanan kota ini.

Ringga hanya bisa melihat penuh tanya dengan sikap tegang sahabatnya itu, dia masih belum mengerti apa yang akan di tunjukan oleh Andika.

Dan tanya itu semakin menjadi ketika dia mengetahui kalau dirinya di bawa ke sebuah Rumah Sakit oleh Andika.

"Luna ada disini ?"

Tanya Ringga itu tak dijawab Andika, dia terus saja berjalan ketika mereka usai memarkirkan mobil yang mengantarkan mereka itu.

Lorong demi lorong rumah sakit mereka lalui dalam diam. Ringga tak lagi berani bertanya, karena sahabatnya itu seakan enggan menjawab pertanyaannya.

Sampai akhirnya di temuinya sebuah ruangan di ujung lorong, perlahan Andika masuk.

"Terlambat." Kata itu segera ter ucap dari mulut Andika, dia segera masuk lebih dalam ke ruangan itu.

Dengan ragu Ringga mengikutinya dari belakang. Sampai akhirnya di temuinya keluarga Luna berkumpul mengelilingi sebuah ranjang dimana dapat melihat jelas kalau Luna terbaring disana.
Namun... Ringga hanya bisa termenung melihat roman muka semua orang yang berada di ruangan itu menunjukan raut kesedihan.
Apalagi ketika ia melihat ibu Luna, meraung menangisi Luna yang tertidur di ranjang ini.
Luna tertidur ? iya, Luna memang tertidur, Luna tertidur untuk selamanya, kini Ringga baru sadar, kalau Luna memang sudah pergi, yang dia lihat kini, hanya jasad Luna, jasad yang sudah tak lagi bernyawa.
Luna meninggal ? Ringga masih belum percaya akan hal itu. Ingin rasanya dia menangis, namun ia tak mampu menangis, dia hanya terdiam, memandang jasad Luna.
Anton, kakak Luna merangkul Ringga, tanpa berkata dia mencoba menerangkan arti kata ketabahan kepada Ringga.
"Relakan dia, Luna sudah tiada. Pesan terakhirnya tertuju untukmu, Luna masih mencintaimu Ga, dan kamu lelaki satu-satunya dan yang terakhir ada di hatinya, sebelum akhirnya hatinya itu berhenti bekerja."


***** END *****

Categories: ,

0 komentar: