Ketika Hujan

" Ryan, latihannya kan sudah selesai.....?!" Gerutu Zahra, teman sejak kecilku yang tomboy.

" Iya, nih! Kamu terlalu bersemangat...!" Kata Ardan menghela napas. Aku hanya tersenyum kearah mereka sambil tetap memainkan bolaku.

" Eh, mulai mendung. Kayaknya bentar lagi hujan. Pulang, yuk!" Ajak Ardan. Zahra pun mengiyakannya. Mereka berdua mengajakku pulang bersama, tapi aku hanya tersenyum sambil berkata,

"Nanti saja! Aku masih ingin bermain...."mereka berduapun berlalu meninggalkanku sendiri.

Lapangan dibawah jembatan. Tempat yang paling sering kukunjungi untuk bermain bola. Tapi nggak asyik! Aku cuma bisa main sendiri. Teman-temanku yang lain selalu menjawab sama ketika kuajak.

"Capek, ah! Kamu ini terlalu bersemangat Ryan!"


Seperti itulah jawaban mereka. Kenapa, sih?! Yah.... Aku juga bingung. Aku tdak pernah merasa capek saat bermain yang namanya sepak bola. Rasanya ingin sekali aku bertanding melawan seseorang hingga tak sanggup lagi berlari mengejar bola. Pasti menyenangkan sekali! Tapi... sampai sekarang aku belum bisa menemukan orang yang tepat.

" Eh, mulai hujan...." Hujan pun mulai membasahi lapangan tapi aku tetap memainkan bolaku. Saat mendongak ke atas, tatapanku bertemu dengan seorang anak perempuan diatas jembatan. Sepertinya seusia denganku. Dia memakai baju dan celana panjang berwarna putih. Dia terus memandangiku.

Siapa, ya, anak itu? Baru pertama kali ini aku melihatnya. Orang baru, ya? Pikirku.

Aku pun memutuskan untuk menyapa anak itu

"HEI !! APA YANG KAU LAKUKAN DISANA??" teriakku. Tapi anak itu tidak memberikan reaksi sedikitpun. Hujan semakin deras dan aku agak kesulitan mengamati wajah anak itu.

"MAU MAIN BERSAMAKU TIDAK??" teriakku sekali lagi.

Mendengar hal itu, anak itu langsung berlari menuju ke lapangan. Anak itu berdiri beberapa meter dihadapanku. Sekarang aku bisa melihatnya dengan jelas. Rambutnya panjang terurai berwarna coklat, matanya sayu, hidungnya mancung, kulitnya putih bersih, wajahnya ramah, tapi entah mengapa dia tidak memakai alas kaki. Akupun tersadar dan segera kuulurkan tanganku.

"Hai! Namaku Ryan. Siapa namamu?" tanyaku sembari tersenyum. Anak itu pun menjabat tanganku. Tangannya terasa dingin. Mungkin karena hujan.

" Audrin..." Jawabnya.

" Nama yang aneh..." Bisikku. Anak itu hanya tersenyum.

Kami pun berbincang-bincang didalam derasnya hujan. Audrin sangat ramah dan murah senyum. Katanya, ia sangat menyukai hujan. Hujan adalah hidupnya. Ia mengatakan hal itu sambil nyengir. Aku juga sangat menyukai hujan. Karena hujan itu penuh keajaiban dan menyejukkan. Audrin anak yang baik. Bagiku ia adalah anak yang sangat menarik. Tidak banyak yang kuketahui tentang Audrin. Yang kutahu, dia terlahir disaat hujan gerimis turun. Itu katanya.

" Kau juga menyukai sepak bola, ya?" tanyaku.

" Iya. Tapi karena Audrin perempuan, paman melarang Audrin bermain sepak bola..." Katanya. Sekilas tampak ekspresi sedih diwajahnya.

" Memangnya kenapa kalau kau itu cewek...? Aku juga punya teman cewek yang selalu bermain sepak bola bersamaku. Namanya Zahra. Anaknya tuh cantik tapi tomboy banget!" jelasku

" Zah-ra....?" Gumam Audrin.

Hujan mulai reda. Audrin terlihat begitu tergesa-gesa.

" Ada apa?" Tanyaku

" Hujan mulai reda. Audrin harus segera pulang..." Katanya sambil tersenyum

" Oh, ya sudah...! Nanti kita ketemuan lagi, ya Audrin......?"

" Ya... Kalau hujan turun lagi, Audrin pasti akan datang..."

Itulah yang iya katakan padaku sebelum pergi seiring redanya hujan.

Keesokan harinya saat di sekolah, aku terus memikirkan Audrin. Zahra dan Ardan menghampiriku yang senyum-senyum sendiri di bangkuku.

" Hari ini kamu aneh sekali, Ryan!" Sapa Ardan.

" Jangan-jangan kamu bertemu gadis cantik di lapangan itu lagi...?" Goda Zahra.

" Ya... aku memang bertemu seseorang kemarin..." Jawabku.

" Eh ?!! Cantik nggak?! Gimana ceritanya?!!" Tanya Ardan semangat. Wajah Zahra tampak suntuk. Aku tertawa melihat ekspresi wajah mereka itu.

" HaHa...! Kalian ini kenapa, sih...?!" Kataku berusaha menahan tawa.

" Loh..? Kamu itu yang kenapa, bego!?" Kesal Zahra.

" Ng...? Mm... HiHi..." Zahra dan Ardan terheran-heran melihat aku yang tertawa nyengir sendiri itu.

" ... Begini, kemarin aku bertemu dengan seorang anak perempuan yang cantik. Dia sangat baik dan ramah juga menarik. Aku jadi ingin bertemu dengan anak yang bernama Audrin itu lagi..." Harapku. Zahra terdiam sesaat.

" Huah... Kenapa selalu kamu, sih, Ryan ?!" Kesal Ardan
" Huh..! Semenarik apa, sih anak itu...?" Kata Zahra ketus.

" Pokoknya bagiku dia itu sangat menarik...!" jawabku sembari tersenyum menerawang. Zahra dan Ardan diam sesaat.

" Kau suka padanya, ya...?" Tanya mereka hampir bersamaan.

" Ya... Kurasa aku 'suka' padanya..." Jawabku datar.

" APUAAA?!!" Pekik Zahra.

" Jangaaan...!! Aku mohon jangan, Ryan...!!" Kata Ardan memohon. Aku terdiam sesaat.

" Hei...! Hei...! Jangan salah paham dulu teman-teman!! Rasa 'suka' yang kumaksud itu berbeda, tahu...!! Aku kan baru bertemu dengannya kemarin...?!" Bantahku. Zahra dan Ardan tidak menanggapiku. Mereka berdiri menjauh.

" Terserah kalian mau bilang apa tentang perasaanku!! Entah bagaimana menjelaskannya... Yang jelas, aku 'suka' Audrin..! Audrin itu temanku yang beharga!!! " Kesalku kemudian berlari keluar kelas.

" Wah, baru kali ini aku melihat Ryan sekesal itu..." Gumam Ardan. Zahra hanya diam tidak berkomentar apa-apa.

Aku berlari kearah halaman sekolah. Kulepaskan lelahku ditempat sepi itu.

" Kenapa, sih mereka itu ?! Apa salahnya aku berteman dengan Audrin..?! memangnya salah kalau aku 'menyukai' Audrin....?!! AARRGH!!!!!" Sikapku saat itu seperti orang bodoh saja. Tapi, entah mengapa aku begitu kesal saat mereka menyinggung tentang Audrin. Mungkin aku... benar-benar menyukai Audrin...?

Tanpa aku sadari hujan turun sejak tadi. Aku jadi basah kuyup.

" Kenapa wajah Ryan seperti itu...?" aku terkejut dan langsung berbalik ke sumber suara itu.

" Audrin...?!!" Girangku agak terkejut.

" Kau tidak sekolah?" Tanyaku pada Audrin. Ia hanya tersenyum seperti biasa.

" Audrin kan sudah bilang, hujan adalah hidup Audrin. Tanpa hujan, Audrin hanya 'boneka', seperti 'mayat hidup'. Berjalan kesana-kemari tanpa arah dan tujuan. Tidak bisa merasakan senang, sedih, marah... Ah?! Maaf...! Audrin jadi ngomong yang tidak-tidak..." Kata Audrin sambil tersenyum nyengir.

Entah mengapa aku merasa iba melihat Audrin. Sebenarnya, kehidupan seperti apa yang ia jalani? Hidupnya bergantung pada hujan... kehadirannya pun bergantung pada hujan. Aku ingin... selalu berada disamping Audrin, karena dia adalah 'teman'ku. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa membuatnya melupakan semua masalahnya. Tapi Audrin tidak pernah mau menceritakan tentang kehidupannya. Setiap kali kutanya, dia hanya tersenyum sambil berkata,

" Terkurung dalam masa lalu yang kelam itu percuma, masa depan yang cerah telah menanti. Lebih baik menatap masa depan, kan...?"

Tanpa kusadari Zahra meihat kami. Ia segera menegurku.

" Hei, Ryan! Apa kau tidak kedinginan, hujan-hujan seperti itu? Dasar bodoh!" Ledeknya.

" Berhentilah mengataiku bodoh, Zahra...!!" Geramku. Zahra memandangi Audrin. Entah mengapa sorot matanya terlihat berbeda. Audrin pun sama. Ia yang biasanya tersenyum lembut, menatap 'lain' Zahra. Ada apa sebenarnya...?

Zahra mengalihkan pandangannya kearahku.

" Cepat masuk sana dan keringkan badanmu! Nanti kamu masuk angin, lagi!" Perintah Zahra.

" Baik, kapten! Eh, Audrin! Aku pergi dulu, ya!" Kataku seraya berlalu meninggalkan Zahra dan Audrin.

Lama sekali mereka berdiam-diaman dan akhirnya Zahra pun membuka pembicaraan.

" Jadi kau, ya, Audrin si 'anak hujan' itu...?" Tanya Zahra. Audrin tersenyum. Tapi senyumnya terlihat sangat berbeda.

" Hm... Az Zahra, anak yang memiliki kekuatan spiritual yang hebat. Tak kusangka kita bisa bertemu ditempat seperti ini...! Lalu, sejauh mana kamu tahu tentang Audrin...?" Tanya Audrin. Tatapan Zahra terlihat begitu tajam.

" Tidak begitu banyak yang kuketahui tentangmu. Karena aku lebih sering bertemu dengan 'dirimu yang lain' di jalan... uhm...! Sejak lahir kau dijuluki 'anak hujan'. Kau terlahir ditengah malam saat hujan gerimis. Tetapi, keesokan harinya saat hujan berhenti, kau.... 'bagaikan tak bernyawa'..." Audrin tersenyum.

" Orang tuamu sempat mengira kau telah mati. Tapi setelah itu hujan turun dan kau pun menangis selayaknya bayi normal. Keluargamu menganggapmu aneh. Kau selalu dianiaya, dikurung dalam kerangkeng terbuka diluar rumah. Kau tidak punya teman, karena semuanya menganggapmu aneh dan akhirnya menjauhimu. Kau dijuluki 'setan hujan'..., karena rasa kesepianmu yang begitu besar dan egomu yang berlebihan, kau berkeliaran ditengah hujan dengan wajah memelas. Menyeret orang-orang 'bodoh' kedalam kehidupanmu dan mengurung mereka bersama masa lalumu yang kelam..." Zahra diam sesaat.

" ...Jadi kali ini sasaranmu adalah Ryan, ya...?" tanyanya sembari tersenyum 'aneh'. Audrin tidak memberikan reaksi apa-apa.
" Jangan ikut campur!" perintah Audrin.
" Hm..? aku tidak akan ikut campur, karena... kau tidak akan mungkin bisa menyakiti orang seperti dia..." Kata Zahra sembari tersenyum dan beranjak pergi.
" Apa maksudmu?!!" bentak Audrin. Zahra pun berbalik kearah Audrin seraya berkata,
" Anak seperti dia tidak akan mungkin disakiti oleh orang sepertimu. Karena dialah yang akan 'menghidupkan' dirimu yang telah 'mati' itu..." Wajah Audrin terlihat seperti menahan amarah.
"...Dia 'menyukai'mu. Dan aku yakin kau pun 'menyukai' Ryan, Audrin..." kata Zahra seakan bisa membaca pikiran Audrin.
Hujan mulai reda dan sosok audrin pun mulai menghilang.
'Dialah yang akan menghidupkan dirimu yang telah mati itu...'
" Ryan..." Gumam Audrin.

*** END***

Categories: ,

0 komentar: