Tak Ada Yang Sempurna ( Chapter 1 )


Seperti biasa, aku tiba di sekolah sepuluh menit sebelum bel masuk berbunyi. Aku berjalan
menyusuri tempat parkir, meninggalkan mobilku yang telah terparkir dengan posisi rapi. Ketika
memasuki halaman belakang sekolah, aku bertemu dengan Dyaz, cowok teman satu kelasku.
“ Hoi Ryan!”, suaranya seperti terburu-buru.
“ Hai. Ngapain kau? Kayak di kejar anjing saja!”
“ Hah. Jam pertama ada kuis hoi. Fisika.”
“ Terus?”
“ Ah, sialan kau. Mentang-mentang otak encer!”
“ Hah? Ngomong apaan sih?”, aku benar-benar tidak mengerti.
“ Haha. Sudahlah. Seperti biasa ya bro, bantuan?”
“ Bukankah sudah puluhan kali aku jelaskan kawan cara main kita?”, aku memberi penekanan
pada nada bicaraku.

“ Ah iya iya. Kau tidak akan memberi contekan. Kau akan mengerjakan soal seperti biasa.”
“ Yup. Aku tidak akan memperlihatkan jawabanku padamu, dan aku tidak akan menghalangimu
untuk melihatnya. Nyontek pun harus usaha bung!”
“ Haha, jenius sialan kau!”
“ Ayolah Diaz. Kau tahu alasanku.”
“ Yaya. Kau  ingin aku tidak selalu menggantungkan nilai ujian padamu kan? Berharap aku bosan
dengan cara ini, dan memutuskan untuk belajar sendiri?”, Diaz bertanya dengan nada memberi
penjelasan.
“ Tapi ada sesuatu yang salah kawan. Sesuatu yang mungkin tidak terpikirkan olehmu!”, Diaz
melanjutkan.
“ Ok. Apa itu?”, aku bertanya karena benar-benar tidak tahu.
“ Aku bukanya tidak belajar. Aku sudah belajar tapi aku tetap tidak paham. Aku semalaman tidak
tidur untuk memahami deretan huruf aneh yang kau sebut rumus itu. Aku mencobanya kawan. Tapi
aku benar-benar tidak bisa. Katakan padaku, berapa lama waktu yang kau perlukan untuk
memahami apa yang tidak aku pahami itu?”
“ Setengah jam?”, aku secara tidak sadar menjawab pertanyaan Diaz. Aku terbawa kata-kata
yang diucapkanya.
“ Nah. Kau tahu. Aku berusaha lebih keras darimu! Tapi kemampuan kita yang berbeda, sesuatu
yang tidak bisa aku ubah. Jadi, aku menggantungkan nasibku padamu bukan tanpa alasan yang
jelas.”
“ Ayolah kawan, tidak seburuk itu kan?”, aku mencoba menghiburnya.
“ Haha. Jangan salah paham Ryan. Aku tidak sedih karenanya. Aku tahu otak memang
kelemahanku. Otakku memang kalah darimu, tapi pernah kau melewatiku ketika bermain
sepakbola? Basket?”
“ Haha. Jadi kau menjadi seorang penceramah sekarang?”
“  Bukan. Aku hanya ingin menjelaskan, mungkin bukan jalanku untuk sukses dengan otakku. Tapi
aku terperangkap di sebuah sistem, di mana aku harus mempunyai ijazah untuk bisa dianggap di
negeri ini. Padahal mungkin aku akan menjadi seorang atlit!”.
“ Hahaha. Mungkin kau bisa mempraktikan teori gerak bebas berubah berubah beraturan pada
tembakan three pointmu!”, aku tertawa. Diaz tertawa lebih keras dariku.
       Kami sampai di lorong-lorong kelas. Dari kejauhan, Nampak pintu kelas kami. Di pintu itu,
berdiri seorang gadis berbadan langsing semampai. Rambutnya panjang sebahu, dan dibuat
mengombak pada bagian bawah. Dia perpakaian rapi, namun siapapun yang melihatnya pasti
akan mengakui bahwa dia seorang gadis yang modis. Semakin dekat, semakin terihat jelas
kulitnya yang berwarna putih bersih. Wajahnya bersinar dengan kacamata berbingkai hitam
berbentuk persegi panjang menghiasi matanya yang indah. Dan yang akan meluluhkan hati setiap
pria, akhirnya keluar saat dia melihatku : senyuman.
“ Nah loh, cewekmu sudah nunggu”, suara Diaz terdengar seperti jengkel.
“ Sirik”, jawabku sambil tersenyum.
“ Otak encer. Keluarga tajir. Pacar primadona sekolah. Tuhan benar-benar menyayanginmu
bung!”, Diaz berkata sambil menepuk bahuku. Dia kemudian mengambil langkah lebih cepat, dan
masuk ke kelas lebih dulu, memberiku kesempatan untuk berbicara dengan Putri.
“ Hai jenius”, putri menyapaku dengan nada bercanda yang khas.
Aku merebut buku yang dipegangnya dengan cepat, menggulungnya, dan memukulkan dengan
sangat pelan ke keningnya.
“ Hai juga bodoh”, jawabku sambil tersenyum.
Putri tertawa. Aku membuka kembali buku yang tadi aku gulung, membaca judul yang tertera di
halaman depanya. “ Jurus Jitu Menjadi Ahli Kimia untuk Kelas Sebelas”. Entah karena apa aku
tertawa sambil melangkah ke dalam kelas. Teman –teman sekelasku terlihat sibuk di meja mereka
masing-masing. Pandanganku kemudian beralih kepada putri yang mengikuti langkahku ke dalam
kelas, yang notabene bukan kelasnya.
“ Ok tuan putri. Mari lihat apa kau bisa menjadi ahli kimia dalam waktu sepuluh menit”.
Putri tersenyum. Hampir tiap pagi putri menyambutku seperti ini. kadang hanya untuk
mengucapkan selamat pagi. Kadang dia membawa buku, yang berarti kelasnya akan ada kuis dan
dia berniat memintaku untuk mengajarinya. Sudah satu setengah tahun ini aku pacaran denganya.
Aku beruntung. Yup, bukan dalam hal ini saja. aku beruntung dalam segala hal. Aku terdiam
sejenak ketika kata-kata Diaz tadi kembali terngiang di kepalaku “ Tuhan benar-benar sayang
padamu bung!”.

                                                                ***


Entah sudah berapa kali aku melirik jam tanganku, berusaha untuk memastikan waktu. Dan
setiap kali aku melihatnya, hatiku berkecamuk dan berharap waktu berhenti. Namun hatiku
semakin kalut ketika aku mendapati bahwa waktu mengalir begitu deras.
        Waktu sudah menunjukan pukul 15.45.  Aku seharusnya sudah tidak berada di sini lagi,
berada di sebuah ruangan kelas bersama Sembilan orang berpakaian putih abu-abu. Seharusnya
aku tidak berada di depan ruangan itu, menuliskan kombinasi angka dan huruf di sebuah papan
putih panjang. Seharusnya aku tidak menjawab pertanyaan orang-orang itu mengenai teori-teori
yang entah sudah berapa kali mereka tanyakan.
      Seharusnya saat ini aku sudah berada di GOR kota. Memakai seragam celana kolor dan kaus
tanpa lengan bertuliskan angka dua belas di punggungku, bukanya memakai seragam putih
abu-abu ini. seharusnya aku sudah melakukan pemanasan sambil mendapati suara-suara teriakan
penonton, dan bukan suara orang-orang ini. Seharusnya aku saat ini bermain basket, dan bukan
mengajar di kelas olimpiade fisika sekolahku!
        Namun keadaan tidak memihaku. Apa daya, dua minggu lagi adalah seleksi olimpiade fisika
tingkat kota. Dan sayangnya saya di sini menjabat ketua kelas, bukan, sebenarnya ketua ekskul
untuk olimpiade fisika. Kelas ini adalah sebuah kelas ekskul yang dibuat oleh sekolahku khusus
untuk menghadapi perlombaan olimpide. Selain kelas fisika, terdapat kelas-kelas lain seperti
biologi, matematika, dan entahlah aku tidak hafal semua. Lebih sial lagi, hari ini, hari di mana tim
basket sekolahku memperebutkan juara satu liga basket tingkat provinsi, Pembina kelas olimpiade
fisika ini tidak bisa hadir. Lebih jauh, Pembina itu memintaku secara langsung untuk
menggantikanya. Dan bodohnya lagi, aku tidak bisa menolaknya.
       Jadi, here I am.  Memimpin kelas ini belajar bersama. Menjelaskan ini itu. Yah, apa boleh
buat. Di antara teman-temanku ini, akulah yang dianggap paling berpengalaman dalam hal
olimpiade fisika. Tahun lalu, aku yang masih kelas satu SMA mampu lolos ke tingkat nasional dan
mendapatkan medali perak. Aku waktu itu gagal melaju ke tingkat internasional. Dan tahun ini, aku
benar-benar berniat untuk mendapatkan medali emas dalam IPHO, international phisycs olimpiad.
 Bagaimanapun, ini adalah ambisiku, dan aku mengedepankanya di antara ambisi-ambisiku yang
lain.
       Namun, jika harus mengorbankan partai final demi sebuah kelas rutin, aku benar-benar tidak
rela. Bukankah seharusnya kegiatan rutin ini dapat diundur, atau diganti hari? Tapi pak Ridwan,
Pembina kelas ini tidak mau tahu. Dan aku benar-benar tahu apa akibatnya jika membantah
kata-katanya.  Jadi dengan perasaan yang tidak tenang, aku memenuhi perintahnya. Lagi pula,
kelas ini akan berakhir pukul 16.00, bersamaan dengan dimulainya pertandingan. Jarak tempuh
GOR itu dari sekolahku dua puluh menit, yang berarti aku masih bisa bermain di quarter ke dua.
Pertandingan itu terdiri dari dua quarter, di mana setiap quarter terdiri dari lima belas menit.
        Sebenarnya, aku tidak perlu serisau ini. Di tim basketku, aku bukanlah pemain andalan.
Bahkan, bisa dibilang aku adalah pemain tambahan, pemain cadangan. Biasanya, aku juga tidak
pernah bermain secara full, paling hanya di quarter ke dua saja. di timku, ada seorang pemain
andalan, seorang pemain hebat yang sudah mulai dilirik oleh para pencari bakat. Seorang pemain
yang selalu menjadi MVP, most valuable player, di setiap pertandinganya : Diaz.
         Namun, mungkin karena mengingat apa yang telah kami lalui selama sebulan ini, aku
menjadi serisau ini. Selama sebulan, pertandingan demi pertandingan kami lalui, mengalahkan
puluhan sekolah lainya hingga hari ini kami sampai di babak final. Dan yang lebih membuatku risau
adalah, pemenang pertandingan hari ini akan menjadi wakil provinsi dalam ajang liga bola basket
SMA tingkat nasional. Lawan kami hari ini adalah juara liga nasional  tersebut tahun lalu. Jadi,
sepertinya aku pantas untuk risau seperti ini.
         Kulirik lagi jam tanganku, dan kudapati waktu seudah menunjukan pukul 16.05. Tanpa
banyak basa-basi, aku menutup kelas tersebut, dan berlari menuju mobil yang terparkir di tempat
parkir belakang sekolah. Lorong-lorong sekolah waktu itu sudah sepi, tinggal beberapa anak yang
mungkin bernasib sial sama sepertiku. Jelas saja, kalaupun semestinya sekolah ini masih ramai
karena ada kegiatan ekstrakurikuler, pasti hari ini semua siswa membolos kegiatan tersebut untuk
menonton pertandingan basket .
         Sudah tidak ada waktu lagi. Aku mengendarai mobilku dengan kecepatan yang cukup tinggi.
Sebenarnya, bukan sifatku suka kebut-kebutan seperti ini. namun, jika harus, tidak sulit bagiku
untuk melakukanya. Namun tetap saja, jalanan kota yang agak macet menghambatku. Dua puluh
menit kemudian baru aku sampai di parkiran GOR, dan kudapati suara sorak-sorai dari dalamnya.
Berbagai bunyi bersatu menjadi satu kegaduhan. Terompet, teriakan, tepukan, bahkan suara
sesuatu di pukul. Apakah itu bass drum?
         Tidak ada waktu lagi. Parkiran ini lumayan sepi. Aku berganti pakaian di dalam mobil,
sekaligus mengganti sepatuku. Setelah selesai, aku segera berlari memasuki gedung. Aku harus
membiasakan telingaku dengna kebisingan ini untuk beberapa saat sebelum dapat menguasai
diriku sepenuhnya. Aku memandangi sekitar, dan kudapati tribun penuh sesak penonton.
Dilapangan, dua tim, satu mengenakan seragam merah dan satunya biru, sama seperti yang aku
pakai, sedang bertanding. Aku berusaha melihat papan skor yang berada di sisi  tengah lapangan,
namun aku tidak dapat melihat dengan jelas. Sial. Kacamataku di mobil. Aku memang malas untuk
 memakai kacamataku kalau tidak sedang di kelas.
       Aku berlari menuju bangku pemain. Pada saat itu, aku menyaksikanya : kehebatan Diaz.
Ketika dia mendapatkan bola dan berada di luar garis  tiga angka, dia dihadang seorang pemain.
Dia melakukan fake, tipuan seolah-olah ingin menembak, dan berlari ke tengah, ke titik freethrow.
Seseorang menghadang, Diaz berputar sambil tetap mendrible. Lewat. Dia melompat, lay up,
dengan tangan kanan. Seseorang melakukan blok. Diaz memindahkan bola ke tangan kirinya.
Melempar. Masuk. Gedung kembali bergemuruh, semua penonton, termasuk aku terkesima. Diaz
benar-benar siap untuk pertandingan hari ini. Pagi tadi setelah ulangan fisika dia ijin pulang untuk
mempersiapkan pertandingan ini.
           Waktu aku sudah sampai di bangku pemain, jarak sudah memungkinkanku untuk melihat
papan skor. 47-43. Waktu tersisa tujuh menit. Sekolahku unggul. Benarkan, tidak ada yang perlu
dikhawatirkan!
“Maaf pelatih, saya terlambat!”, aku menghampiri seorang wanita berusia dua puluh dua tahun,
seorang mahasiswi yang sekaligus merupakan pelatih tim basket sekolahku.
“Sudahlah, kau sudah menjelaskan di telpon tadi. Sekarang pemanasan dua menit, kau langsung
main!”
“Saya sudah siap pelatih, tadi ke sini sudah berlari. Sudah panas.”
“Jangan membantah. Cepat pemanasan!”
Tanpa kata lagi, aku pemanasan. Peregangan. Kurentangkan tubuhku dengan perasaan tidak
sabar menghadap ke lapangan.  Aku mengikuti pertandingan. Timku sedang bertahan. Man to
man, satu orang menjaga satu orang. Diaz menjaga orang yang membawa bola itu. Pemain lawa
kesulitan menembus diaz, namun akhirnya mampu mengoper ke nomor lima. Dia tiba-tiba
menembak. Masuk. Nampaknya Toni, rekanku yang bertugas menjaganya sudah kelelahan. Timk
menyerang, tapi gagal, dan kembali bertahan. Kembali nomor tujuh. Diaz kembali menghadang.
Dugaanku, mereka akan melakukan tembakan tiga angka lagi, dan Diaz nampaknya juga berfikira
sama.  Diaz sedikit melonggarkan penjagaan pemain nomor tujuh, menutup jalan operan ke nomo
lima, si penembak tiga angka. Namun, bola di oper ke nomor Sembilan. Tanpa menunggu, dia
menembak. Masuk. Tiga angka lagi. Berikutnya, secara berturut lawan mampu memasukan dua
tembakan tiga angka, sedangkan timku buntu. Kedudukan 47-55 ketika pelatih memanggilku.
“Sudah siap?”, tanyanya.
“Sangat siap!”
“Ok kamu masuk. Dengar, tim lawan mempunyai dua penembak tiga angka. Nampaknya quarter
pertama tadi mereka tidak mengeluarkanya, menunggu kita kelelahan. Jadi begini.  Suruh Diaz
tetap fokus menjaga si nomor tujuh, sambil menutup operan ke nomor sembilan. Kamu, habisi
nomor lima. Paham?”
“Siap!”
Aku melangkah ke bangku panitia, meminta pergantian pemain. Aku menggantikan Toni, yang
nampaknya sudah sangat kelelahan.
“ Pelatih bilang, senjata andalan mereka tembakan tiga angka”, aku berbisik kepada Diaz.
“ Aku tahu. Aku akan menjaga nomor tujuh sambil menutup operan ke nomor Sembilan, kau jaga
nomor lima!”
“ Roger!” aku menjawab sambil mengambil posisiku. Nomor tujuh kembali membawa bola. Diaz
menempelnya ketat. Aku menjaga nomor lima. Tidak akan aku biarkan sedikitpun bebas.
Si nomor tujuh mengoper ke nomor Sembilan. Steal. Diaz berhasil memotong. Dia kemudian
melakukan serangan, seorang diri. Masuk. 49-55. Kembali defens.
Si nomor tujuh lagi, dan kembali Diaz menjaganya. Nomor tujuh mengoper ke nomor lima.
Giliranku. Berhasil. Cut, aku memotong operan. Bola langsung aku oper ke Diaz yang berada di
depanku. Kami berlari. Diaz terhenti  oleh hadangan nomor tujuh, kemudian mengoperkanya
padaku. Aku melompat, lay up. Sial, tidak masuk. Padahal bola semudah itu. Rebound untuk
lawan. Aku bergegas untuk bertahan. Terlambat, si nomor lima lay up. Masuk. 49-57. Waktu
tersisa kurang dari empat menit.
Timku Nampak terpukul. Semua salahku.
“Diaz. Tidak ada waktu lagi” , kembali aku berbisik pada Diaz.
“Apa maksudmu?”
“Jika kita tidak mengejar dengan tembakan tiga angka, kita akan kalah.”
“Tapi kita tidak punya penembak tiga angka.”
“Tapi di tim ini ada Kamu.”
“Tidak bisa, kemungkinanya kecil. Kalau bola di rebound musuh, justru kita yang  semakin rugi!”
“ Tembak saja. Sisanya serahkan padaku”, kata terakhirku sebelum kembali maju. Kami
menyerang. Di dalam lingakaran three point, bola di tanganku. Aku memandang sekeliling, dan
kudapati Diaz berada di daerah luartiga angka. Aku oper. Diaz menerimanya. Dia melempar, tida
masuk. Sial. Bola rebound. Di bawah sudah ada dua orang musuh. Tapi aku sudah berjanji. Bola
rebound itu miliku!
Aku melompat, berusaha menggapai bola, mengabaikan dua orang musuh yang sudah berada di
bawahnya.
bawahnya. Entah bagaimana, aku mendapatkan bola itu. Tapi keseimbanganku goyah.
Pinggangku berada di pundak lawan, yang kemudian lawan berpindah sehingga aku kehilangan
tumpuan, membuatku jatuh dengan posisi tidak nyaman. Namun aku berhasil mengoper bola itu
sebelum tubuhku menyentuh lantai. Diaz tiga angka. Masuk! 52-57, waktu tinggal tiga menit.
Tanpa banyak pikir mengenai jatuhku, aku berdiri dan kembali menempel si nomor lima. Aku
benar-benar melupakan segalanya. Aku menikmati permainan basket ini. Aku suka basket!
Bertahan. Aku tidak akan melepaskan si nomor lima ini. nomor tujuh nampaknya menyadari kami
berusaha mematikan tembakan tiga angka mereka. Dia tidak mengoper. Berusaha melewati Diaz.
Bodoh. Kalau masalah one on one, anda memilih lawan yang salah bung!
Steal. Diaz berhasil mendapatkan bola. Berlari ke depan. Mengoper ke Rizal. Rizal membuangnya
ke aku. Dan aku mengembalikan bola ke Diaz. Posisi yang kurang menguntungkan baginya untuk
tiga angka, tapi dia tetap melakukanya. Masuk! 55-57. Sisa waktu kurang dari tiga menit. Dua
setengah menit tepatnya.
Time out. Tim lawan meminta time out. Timku berkumpul, dan setuju untuk tetap memakai taktik
yang sama.
Pertandingan kembali di mulai. Kami defense. Dan aku sedikit terkejut mendapati para pemain
lawan belum juga beniat menyerang, hanya saling mengoper bola di daerah  tengah. Mereka
berusaha mengulur waktu.
Prittt. 24 detik. Aturan untuk menembak ke ring lawan dalam waktu 24 detik, telah mereka
langgar. Mereka tidak berniat mencetak angka!
Kami menyerang. Dan aku terkejut lagi. Zone defense. Mereka melakukan pertahanan daerah.
Kami kesulitan, dan selama dua puluh detik tidak bisa menembak. Akhirnya Rizal menembak
dengan sangat terpaksa. Gagal. Kami kembali defense, dan seperti yang sudah kami duga,
mereka terkena aturan 24 detik lagi.
Waktu tinggal satu menit. Kami menyerang, tapi masih kesulitan untuk masuk. Bola berada di
tangan Rizal sekarang. Entah karena apa, mungkin keseimbanganya yang goyah karena terlalu
ketat di jaga lawan, operan yang ditujukan padaku, yang saat itu berada di tepi lapangan, tidak
mengarah tepat padaku. Bola akan keluar. Sial. Tidak boleh keluar. Kami harus mencetak angka!
Aku berlari. Saat ini naluri benar-benar menguasaiku. Aku melompat menerjang bola itu
memukulnya ke dalam. Aku terjatuh ke luar lapangan, menabrak papan sponsor. Dapat!
Aku melihat bola di tangan Diaz. Dia kesulitan nampaknya, dijaga oleh dua orang. Tidak ada waktu
lagi. Aku bangun dan berlari memasuki lapangan, menuju ke tempat kosong : sudut kiri daerah
lawan. Diaz menyadari hal ini, dan segera mengoper padaku. Sial. Ternyata dua orang musuh
cukup tanggap pada posisi ini. mereka menghadangku. Tidak ada waktu. Aku melompat,
melakukan tembakan tiga angka. Aku tahu, aku payah dalam ham tiga angka. Tapi, sudah tidak
ada waktu. Aku melompat. Dua orang musuh itu ikut melompat. Aku berkelit di udara menjauhi
mereka , yang kemudian aku tahu bahwa itu adalah tekhnik fade away, menembak dengan
melompat ke belakang. Lewat. Dan, Masuk! Aku terkesima. Benar-benar masuk! Aku tidak
percaya bisa melakukanya. 58-57. Tersisa tiga puluh detik. Musuh bergegas melakukan serangan
balik. Aku mencoba bangun, tapi entah kenapa aku gagal melakukanya. Aku merasakan kakiku
lemas
Si nomor tujuh itu melakukan penetrasi. Dia melompat, melakukan lay up.
Blok. Sebuah  blok menghentikanya. Diaz. Kemudian dengan begitu cepat, berkelit melewati para
pemain untuk maju ke depan. Berikutnya aku melihat sesuatu yang membuat mataku terbuka
lebar. Diaz melompat, dengan tetap memegang bola itu. Kemudian, dia membanting bola itu
masuk ke dalam ring.
Slamdunk!
Aku tidak percaya, akhirnya aku melihat sebuah slamdunk secara langsung. Dan yang membuatku
lebih terpana, dilakukan oleh anak SMA! Bahkan di pertandingan liga professional dalam negeri
pun, langka seorang pemain melakukan slamdunk.
Beberapa saat setelah itu, pertandingan berakhir. Tim sekolahku menang dengan angka 60-57.
          Acara dilanjutkan dengan penyerahan hadiah, dan pengumuman pemain  terbaik. Dan  tentu
saja, gelar itu menjadi milik Diaz. Setelah acara selesai, kami melakukan sedikit perayaan di
dalam GOR tersebut. Beberapa wanita dari sekolahku meminta berfoto bareng denganku. Ah,
para wanita ini. Untuk apa juga berfoto denganku? Tapi apakah Putri, juga akan melakukan hal
yang sama? Apakah putri akan meminta aku berfoto bersamanya seusai pertandinganku? Apakah
Putri akan menonton pertandinganku?
         Ah, tidak mungkin. Putri tidak pernah melakukanya. Dia tidak pernah datang secara khusus
untuk menyaksikan pertandinganku. Selain dalam pertandingan basket, dia memang selalu ada
untuku. Namun, sesekali aku ingin dia melihat pertandinganku.
       Aku terduduk di kursi pemain, memandangi orang-orang yang melakukan perayaan dengan
tatapan hampa. Aku melihat kakiku memar, dan rasa haus menyerangku. Ah seandainya saja dis
saat seperti ini, Putri ada. Dia pasti tahu apa yang aku mau : Pepsi Blue.
Ketika aku tengah asyik dengan pikiranku, seseorang menyodorkan minum padaku. Aku
memandanginya, berharap bahwa itu dia. Namun aku kecewa, medapati itu bukanlah putri
melainkan salah satu siswi dari sekolahku. Aku menerimanya, dan setelah aku mengucapkan
terimakasih, dia bergegas pergi setelah paham bahwa aku sedang tidak berniat untuk bicara.
Aku memandangi botol yang ada di tanganku. Coca cola. Aku tidak berniat meminumnya. Ini
bukan Pepsi Blue.
Saat aku mengarahkan pandanganku ke sekeliling, aku mendapati sebuh sosok berjalan di tepi
lapangan, ke arahku. Sosok yang aku kenal. Mataku memang tidak bisa melihatnya dengan jelas
tapi aku tahu betul itu siapa. Dia memegang sebuah botol , berwarna biru.
Baru ketika sosok itu sudah agak dekat, aku yakin dengan apa yang aku lihat. Putri. Dengan botol
pepsi blue. Aku tersenyum, dan membuang botol yang aku pegang ke lantai. Namun aku
 terhenyak ketika putri menghentikan langkahnya di hadapan seseorang, dan sambil tersenyum
menyerahkan botol itu padanya. Aku dengan heran memandangi, berusaha mengenal siapakah
orang itu. Diaz!
Masih juga aku heran, mereka berjalan berdampingan sambil saling berbicara dan tertawa, keluar
dari GOR.

                                                               ***
Bersambung.....

Categories: , ,

0 komentar: