Tak Ada Yang Sempurna ( Chapter 2 )


< PUTRI :>
Aku memarkir motorku di tempar parkir belakang sekolah, menempatkanya berdampingan
bersama motor-motor lainya. Aku melihat ke kaca spion untuk merapikan rambutku yang cukup
panjang, memastikan angin tidak membuatnya berantakan. Setelah itu, aku merapikan pakaianku
juga. Sempurna. Aku berjalan meninggalkan tempat parkir sambil membersihkan kacamataku.


        Seperti biasa, aku tiba di sekolah cukup pagi. Rutinitas ini sudah menjadi kebiasaanku
selama satu setengah tahun ini. Sebenarnya, aku datang pagi bukan karena ingin menjadi pelajar
yang sangat tertib atau hal sejenis lainya. Tidak. Bukan untuk itu. Aku datang pagi untuk
menyambutnya, berusaha untuk selalu datang lebih awal darinya.
 “Hai putri”, suara Adel, teman satu kelasku, menghentikan langkahku menuju ruang kelas untuk
sesaat. Aku berbalik dan melihatnya setengah berlari berusaha menyusulku.
“Hai”, aku menjawab sambil tersenyum. Adel telah menyusulku, dan kami berjalan bersama
menuju ruang kelas, menyusuri lorong-lorong sekolah.
“Siap?”, tanyanya sambil mengangkat kedua alisnya.
“Kimia? Hmm. Belum sih, masih ada yang belum paham. Nanti mau Tanya Ryan dulu.”
“Yah enak ya, punya pacar pinter. Cakepnya minta ampun juga”, Adel berbicara dengan logat
manjanya yang membuatku tertawa.
“Haha. Yah gimana kamu tahu enak kalau pacaran saja belum pernah? Nunggu apa, banyak kan
yang ngantri.”
“Iya tapi kan aku juga lagi ngantri. Ngantri Ryan”, Adel tertawa renyah. Aku tertawa sambil
mendorong bahunya.
“Haha. Iya iya. Bercanda kok. Aku sih bukan levelnya. Tapi tidak tahu tuh, gimana cewek-cewek
yang lain. Hati-hati lho, beneran banyak yang ngantri.”
“Haha. Biarin deh”, aku berkata pelan. Aku tahu Adel benar.
“Kok kamu pakai motor ke sekolah? Kenapa tidak minta dijemput Ryan saja? Dia kan ke sekolah
pakai mobil?”
“Enggaklah, enakan gini kok”, aku menjawab dengan nada penuh, berharap Adel paham bahwa
aku tidak ingin membicarakan masalah ini.
Yah, aku memang menolak tawaran Ryan untuk berangkat sekolah bersama. Kalau bukan karena
hal yang mendesak, aku lebih suka berangkat sekolah sendiri memakai motorku. Entahlah, di
sekolah ini, rasanya aku tidak nyaman terlalu menunjukan hubungan kami ke orang-orang,
terutama pada para gadis di sekolah ini. Bukan karena sok, tapi benar, aku malas melihat tatapan
sirik mereka.
“Nanti sore kamu mau nonton basket tidak? Sekolah kita tanding lho, final”, pertanyaan Adel
membawaku kembali dari lamunanku.
“Hah? Tidak tahu del”, aku menjawab datar.
“Ryan main ,kan. Kamu gimana sih? Katanya pacarnya tapi sekalipun belum pernah melihat
pertandinganya?”
Aku terdiam sejenak, memikirkan kata apa yang akan ku keluarkan.
“Sudah pernah kok”, aku menjawab jujur. Ya, aku memang sudah pernah melihat Ryan bertanding,
walaupun aku tidak bilang pada Ryan, dan walau hanya sebentar. Sebulan yang lalu, aku melihat
pertangdingan pembuka liga basket SMA itu. Aku ingat betul, banyak perempuan yang berteriak
histeris ketika Ryan membawa bola. Entahlah, hal itu membuatku tidak tahan. Tidak sampai
pertandingan selesai, aku pulang. Ini yang namanya cemburu? Mungkin bukan, karena ada hal lain
yang membuatku tidak mau melihat pertandingan tim basket SMA-ku.
“Kapan kamu nonton put? Ah, tapi ini beda. Ini babak final lho.”
“Sama saja kan, Cuma pertandingan basket”, aku menjawab datar.
“Yah, kamu gitu? Tidak takut nih Ryan digaet cewek-cewek yang pada teriak histeris itu?”, Adel
tertawa renyah. Aku hanya tersenyum. Kami sudah tiba di depan kelas. Aku segera masuk,
meletakan tasku di meja. Aku mengambil sebuah buku dari tas, dan beranjak keluar. Seperti
pagi-pagi yang lain, aku menuju kelas Ryan. Setiap pagi. Entah itu untuk bertanya tentang
pelajaran, atau hanya sekedar berada di sana, untuk bertemu denganya.
        Aku sudah berada di depan kelas Ryan, dan tidak lama kemudian aku melihat dia berjalan
menuju ke arahku bersama seseorang. Diaz? Ah benar Diaz. Aku ingin menyapa Diaz, namun dia
berjalan cepat dan segera masuk ke kelas. Dia menghindariku. Apakah dia masih marah padaku
karena masalah itu?
       Tidak lama aku memikirkanya, dan aku tersenyum melihat wajah tampan itu.
“ Hai jenius”, aku menyapanya dengan nada yang hanya akan aku perdengarkan padanya tak
akan ke orang lain.
Tiba-tiba Ryan merebut buku yang aku pegang, dan memukulkan dengan sangat pelan ke
keningku. Dia memang sering melakukan hal itu padaku. Mungkin ini cara Ryan mengungkapkan
rasa sayangnya. Yah, dia memang bukan seseoarang yang romantis, dan aku memahaminya,
atau  setidaknya aku mencoba memahaminya. Dan aku bahkan menyukai caranya ini.
“ Hai juga bodoh”, jawabnya sambil tersenyum.
Aku  tertawa sambil mengikutinya masuk ke dalam kelas. Kami duduk di meja yang paling depan,
berdampingan.
“ Ok tuan putri. Mari lihat apa kau bisa menjadi ahli kimia dalam waktu sepuluh menit”, katanya
sambil membuka buku yang tadi aku bawa. Ryan mulai menjelaskan dengan cepat tentang
berbagai rumus. Sesekali dia bertanya padaku apakah aku sudah paham, atau memintaku
bertanya apa yang belum aku pahami.
           Pada saat dia memandangi buku, diam-diam sesekali aku mencuri pandang pada
wajahnya. Sangat tampan. Dan lihtlah betapa pandainya dia, tidak, mungkin benar dia memang
jenius. Dalam waktu sepuluh menit saja, dia mampu membuatku mengerti hal-hal yang dalam
semalam tidak mau masuk ke dalam kepalaku. Aku benar-benar merasa beruntung berada di
sampingnya. Dan juga merasa hal lain. Hal yang belum sepenuhnya aku akui. Rasa takut
kehilangan dirinya.
                                                                    *
         Dan mungkin, rasa takut kehilangan itu juga yang menuntunkan ke tempat ini. Aku
sebenarnya tidak tahu pasti mengapa sekarang aku duduk di tempat ini, di tribun GOR. Duduk di
tengah hiruk pikuk ribuan orang. Aku masih belum tahu apa tuuanku ke sini. Mungkin aku aku tulus
ingin mendukung Ryan. Atau, kata-kata Adel tadi pagilah yang telah mendorongku. Aku
memegangi botol biru, pepsi blue, dan memandanginya sejenak. Minuman kesukaan Ryan.
Mungkin aku memang tulus ingin mendukungnya.
         Setelah pertandingan dimulai, aku hanyut ke dalam pertandingan itu. Yah, aku memang suka
basket. Waktu SMP, aku, dan juga Diaz, adalah kapten tim basket SMP kami. Dulu. Aku kini
sudah tidak bermain lagi, tapi bukan berarti aku tidak menyukainya. Tidak. Aku masih
menyukainya, dan itu terbukti hari ini. Aku menikmati pertandingan ini.
       Aku ikut berdiri dan bersorak, ketika Diaz berhasil melewati tiga pemain dengan tekhnik yang
sangat cantik. Dia benar-benar pemain berbakat. Sebenarnya, aku sudah tahu ini sejak dari SMP,
tapi perkembanganya saat ini tetap saja membuatku kagum.
      Masih juga aku berdiri, aku mendapati seorang pemain berada di tepi lapangan, melakukan
pemanasan. Seorang pemain bertubuh tidak atletis, bahkan terlihat bukan seperti seorang pemain
basket tetapi seorang anggota boyband korea. Berwajah tampan, dan kulit yang begitu putih.
Ryan.
        Ryan masuk pada saat tim sekolah kami ketinggalan beberapa angka. Dan ketika dia
memegang bola, para perempuan berteriak histeris. Hal ini menggangguku. Tidak tahukah mereka
bahwa Ryan sudah punya pacar? Atau mungkin ini sebabnya Ryan tidak pernah memintaku
datang ke pertandinganya. Ya, tidak sekalipun dia memintaku datang. Mungkin dia merasa sudah
memiliki banyak pendukung, dan dukunganku tidak akan berarti baginya. Aku tertegun sejenak.
Terkejut aku mampu berpikiran  seperti itu mengenai Ryan.
       Setelah itu, aku menjadi tidak menikmati pertandingan itu. Aku tahu Ryan, dan Diaz berhasil
memenangkan pertandingan dengan permainan cantik Diaz dan permainan ngotot Ryan, tapi itu
tidak menarik perhatianku lagi. Bad mood.
       Selesai pertandingan, aku masih tetap tidak beranjak dari tempatku duduk. Dapat dikatakan,
penonton sore ini terbagi menjadi dua kelompok, yaitu penonton yang segera pulang setelah
pertandingan selesai, dan penonton yang  turun ke lapangan untuk ikut merayakan kemenangan.
Aku tidak masuk keduanya. Aku masih tetap duduk di tempatku.
       Moodku semakin hancur ketika aku mendapati Ryan berfoto bersama beberapa gadis satu
sekolahku. Bukan, bukan beberapa tapi banyak. Dan Ryan tidak menolaknya, melayani mereka
berfoto bersama.
Kau menikmatinya kan? Mungkin ini juga alasanmu tidak pernah memintaku hadir dalam
pertandinganmu. Kau tidak ingin aku mengganggu waktumu bersama para gadis ini kan?
Aku tertunduk di tempat dudukku, memandangi botol biru yang berada di tanganku.
Memandanginya dan memegangya dengan lebih erat.
Ayolah, kau tidak malu berfikiran seperti itu kepada Ryan? Satu setengah tahun kau
bersamanya dan kau masih belum bisa mempercayainya?
Suara dalam diriku itulah yang kemudian memberiku kekuatan untuk mengangkat wajahku. Aku
memandang ke bawah, ke tempat Ryan tadi. Aku melihatnya duduk di tepi lapangan, sendiri. Dia
terlihat begitu kelelahan. Aku berdiri, dan berusaha melupakan semua pikiranku tadi.
“Pepsi blue kesukaanmu datang”, aku bergumam sambil melangkah turun dari tribun menuju
lapangan. Aku tidak sabar ingin melihat wajah Ryan ketika melihatku berada di sini, sesuatu yang
pasti tidak diduganya. Memikirkanya membuatku tersenyum.
Namun ketika sampai di bawah, dari jauh aku melihat seorang gadis menghampiri Ryan. Aku
berhenti. Gadis itu memberikan sebuah botol minuman kepada Ryan.
Jangan diterima. Aku telah membawakan minuman untukmu.
Ryan menerimanya, dan melihatnya moodku kembali anjlok. Ingin rasanya aku membanting botol
yang aku pegang, tapi aku urung melakukanya. Bagaimanapun botol ini cukup berarti bagiku, dan
bukan sifatku untuk bersikap seperti itu. Tapi tetap saja, ada perasaan mengganjal di dalam
hatiku. Mungkinkah marah? Kecewa? Cemburu? Mungkin perpaduan di antara perasaan-perasaan
itu.
Tidak jauh dariku, aku melihat Diaz duduk sendiri di lantai. Tatapanya kosong. Entah kenapa
tiba-tiba aku ingin berbicara padanya. Semenjak kejadian itu, sekitar satu setengah tahun yang
lalu, kami tidak saling berbicara. Aku beberapa kali berusaha mengajaknya berbicara, berusaha
memperbaiki hubungan kami, Namun Diaz selalu menghindariku. Dan aku sore ini mencobanya
lagi.
Aku berjalan ke arahnya, dan menyerahkan botol yang aku pegang kepadanya. Dia Nampak
terkejut. Aku tersenyum.
“Dua penghargaan lagi. Lemarimu masih muat?”, aku bertanya masih sambil tersenyum, dan
bersiap untuk diabaikan lagi, seperti biasanya.
“Mungkin tukang loak akan lebih senang menerima ini daripada aku”, dia menjawab sambil
tersenyum juga. Aku terkejut. Sudah berapa lama dia tidak tersenyum seperti itu kepadaku?
“Apa kau mau menginap di sini? Kalau tidak, mungkin kita bisa pulang bersama”, aku bertanya
dengan nada bicara yang aku buat setenang mungkin, berusaha menyembunyikan keterkejutanku.
“Tentu”, jawabnya sambil berdiri. Rumah kami memang lumayan dekat, dan dari GOR ini searah.
Aku tahu dia membawa motor sendiri, begitu juga aku.
Aku tidak jadi menemui Ryan.
Ah sudahlah, Ryan pasti tidak mengharapkanmu juga untuk datang. Dia pasti tidak menyadari
kedatanganmu juga.
Kami berjalan bersama keluar dari GOR. Aku sudah tidak ingat, kapan terakhir kali kami berjalan
berdampingan seperti ini.
                                                               ***
Bersambung...

Categories: , ,

0 komentar: