Tak Ada Yang Sempurna (Chapter 3)

   Hari masih cukup terang ketika aku mengendarai mobil melewati jalanan kota menuju
rumahku. Aku dapat melihat langit di sebelah barat yang mulai berwarna kekuningan, sebuah
tanda bahwa matahari  akan segera meninggalkan hari. Langit di sebelah timur masih berwarna
biru muda, dengan dihiasi sekawanan awan yang saling bergerobol, seakan sedang
bergandengan meramaikan langit. Pepohonan yang berbaris di pinggir jalan sesekali bergoyang di
tiup angin yang berhembus dengan nada khidmat, membawaku untuk mengikutinya menikmati sore
ini, membantuku mengusir suasana hati yang sempat rusak tadi. Aku tahu sore ini mencoba
menghiburku, dan itu bisa dibilang berhasil walaupun hal itu belum mampu menghilangkan rasa
tidak enak di hatiku.


  Aku masih penasaran, mengapa Putri datang ke pertandingan basket tadi, namun sama
sekali tidak menemuiku. Walaupun aku hanya bermain selama lima menit, mungkin sebuah ucapan
selamat atas kemenangan timku akan sangat berarti. Hal yang membuatku merasa semakin tidak
enak adalah bahwa Putri berbicara dengan orang lain, namun tidak denganku. Kenapa dengan
Diaz, sedangkan tidak denganku? Aku tahu mereka dulu teman satu SMP, bahkan Putri pernah
bilang bahwa mereka dulu teman yang cukup dekat, namun aku saat ini merasa mempunyai hak
yang sama, bahkan lebih untuk sekedar mendapat kata ucapan selamat.
  Perjalanan pulang dari GOR sore ini terasa begitu cepat. Aku memikirkan hal-hal yang tidak
dapat aku ingat semuanya, dan ketika aku tersadar aku sudah mendapati diriku berdiri di garasi
rumahku. Aku berjalan dengan perasaan yang masih tak menentu, memasuki rumah. Aku
mendapati di ruang tamu, mamaku sedang duduk sambil membaca sebuah novel. Menyadari
kedatanganku, dia memalingkan wajahnya ke arahku, dan tersenyum
“Sore ma”, aku menyapa dengan suara yang aku buat sebiasa mungkin.
“Lagi ngapain?”, aku melanjutkan.
“Baca”,  mama berkata sambil mengangkat novel yang dipegangnya dan menunjukanya kepadaku.
“Bagaimana?”, mama berdiri sambil melepas kacamata bacanya.
“Apanya?”
“Basketnya lah!”, kini nadanya tidak sabar.
“Menang ma”, jawabku sambil tersenyum.
“Oh, thanks God”, mama menghampiriku dan memelukku.
“Ah ma, sudahlah”, aku sebenarnya risih.
“Tidak, kita harus merayakanya!” mama berseru sambil melepaskan pelukanya.
“Hah? Ma, aku Cuma main lima menit ma.”
“Lalu?”
“Aku juga Cuma mencetak tiga angka.”
“Lalu?”
Aku tidak tahu maksud pertanyaan mama.
“Apa kalau Cuma main lima menit, kau tidak senang atas kemenanganmu? Kau tidak menikmati
pertandinganmu, Ryan?”
“Aku sangat menikmatinya”, jawabku dengan terpaksa jujur.
“That’s the point”, ibuku tersenyum lebar.
“Ah mama”, aku tidak tahu harus berkata apa lagi.
“So, ada ide bagaimana kita akan merayakanya?” mama mengabaikan keberatanku.
“You’re the boss”, jawabku lirih.
“No no no , not I am. Kau benar, kita harus memanggil sang bos.”
“Maksud mama? Papa?”, aku memastikan.
“Yup”, mama menjawab sambil membuka HP.
“Ayolah ma! Papa pasti sedang sibuk. Aku hanya menang pertandingan basket SMA ma”, aku
mengeluh kali ini. merasa tidak enak jika harus mengganggu papa hanya untuk merayakan hal
kecil seperti ini.
“Ssst”, mama meletakan telunjuk tangan kirinya di depan bibir, sementara tagan kananya
menempelkan HP ke telinganya.
  Aku menghembuskan nafas panjangku. Ah, mamaku ini, kalau sudah mempunyai kemauan,
tidak akan ada yang bisa menghentikanya. Aku masih berdiri di tuang tamu, bersama mama yang
sedang berdiri juga. Aku memperhatikan mama yang sedang berbicara dengan papa.
Memandangi wanita cantik berusia tiga puluh delapan tahun. Di usianya yang sudah hampir
berkepala empat, tubuhnya hampir masih sama dengan teman-temanku, maksudku, tubuhnya
tidak “melar” karena termakan usia. Seorang wanita mantan pengacara yang kini hanya menjadi
ibu rumah tangga biasa, sebuah pilihan yang dia buat sendiri. Dia memang mencintai pekerjaanya
sebagai pengacara, tapi nampaknya kecintaannya kepada keluarga tidak ada yang bisa
menandingi.
“Ok, it’s done”, kata-kata mama memecah lamunanku.
Aku mengangkat bahu, meminta penjelasan.
“Papa akan pulang lebih awal”, mama tersenyum puas.
“Mama mengancam papa apa?”, aku bertanya dengan sedikit nada mengejek.
“Diam kau! Ini urusan orang dewasa!” mama tertawa sambil mendorong bahuku. Aku tertawa.
“Kita akan makan di rumah. Mama akan memasak. Kau pasti lelah, istirahatlah di kamar.”
“Mungkin aku bisa sedikit membantu mama?”
“Hush! Apa kata para fans cantikmu itu melihatmu memegang pisau masak?” mama tertawa
lepas.
“Aku tidak punya fans ma”, aku menjawab dengan nada jengkel.
“Iya iya. Hanya ada putri kan?”
Aku merasa pipiku panas.
“Dan puluhan gadis yang meneriakan namamu dan meminta foto bersamamu”, mama tertawa
semakin lepas. Aku tidak tahu harus berkata apa. Bagaimana mama tahu apa yang terjadi di
pertandingan? Apakah mama pernah menonton aku bertanding? Tapi mama tidak pernah
mengatakan padaku.
“Istirahatlah, Ryan. Nanti mama akan memanggilmu kalau semua sudah siap”, suara mama kini
terdengar begitu lembut.
“Ok ma”, aku menjawab sambil membalikan langkahku menuju ke kamar.
“Hmm. Ma?”, aku menghentikan langkahku.
“What?”, mama bertanya sambil mengangkat alisnya, memandangku dengan rasa ingin tahu.
“Thanks for everything”, aku berkata lirih.
“Shut up. Cepat istirahat sana!”, mama berkata setelah tersenyum sesaat.
  Aku berjalan dengan perasaan yang lebih baik daripada saat aku memasuki rumah tadi.
Berbicara dengan mama selalu saja begini, selalu membuatku merasa gembira. Walaupun kami
beda generasi, namun aku merasa mama lebih muda dariku ketika kami berbicara. Ah, mama.
Terimakasih.
  Ketika aku akan membuka pintu kamarku, aku mendengar suara langkah setengah berlari
menuju ke arahku.
“Kakak pulang!”
Aku tersenyum.
“Hoi”
“Kakak tadi main basket? Menang apa kalah kak?Kakak masukin bola?Dapat hadiah apa kak?”,
Resa bertanya dengan nada yang tidak putus.aku tertawa.
“Woi woi boy, santai santai”
“Gimana kak?”
“Haha. Masuk dulu ke kamar kakak”, aku membuka pintu. Resa langsung berlari tanpa aku
perintah lagi. Dia duduk di kursi putar yang biasa aku gunakan untuk belajar.
Walaupun tubuhku sudah kering sebenarnya aku benar-benar membutuhkan mandi saat ini. namun
ketika aku melihat raut wajah Resa yang begitu antusias menanti ceritaku, akhirnya aku hanya
membaringkan tubuhku ke ranjang. Resa memutar kursi menghadap ke arahku, menyandarkan
dagu mungilnya pada sandaran kursi.ok. dia siap untuk mendengarkan ceritaku.
“Well. Jadi yang pertama, kakak menang.”
“Yes. Itu kan, sudah pasti kakak menang!”, Resa berteriak dengan penuh semangat.
“Dan seperti biasanya, kak Diaz jadi bintang lapangan.”
“Hebat. Kapan aku bisa ketemu Kak Diaz kak?”
“Haha. Kapan-kapan kakak ajak dia ke rumah.”
“Yes. Beneran ya kak! Terus hadiahnya apa?”
Aku mengeluarkan medali dari tasku dan melemparkanya kea rah \Resa. Dia sigap menangkap.
“Wao. Ini emas asli kak? Boleh aku pinjem kak, mau aku pasang di kamar!”
“Hahaha. Tentu. Tapi ada syaratnya.”
“Hah? Apa apa?”
“Ceritain gimana sekolah Resa tadi. Kalau bohong,  medalinya tidak boleh dipinjam.”
“Ah, hari ini buruk kak.”
“Kenapa?”
“Bu guru itu njengkelin”
“Kenapa?”
“Ngitungnya lambat. Terus ngucapin kata pas pelajaran bahasa inggris tadi, juga banyak yang
salah!”
“Haha. Terus Resa gimana?”
“Yah sebenarnya pingin protes kak, tapi…”
“Tapi?”
“Kan kakak yang bilang, jangan terlalu banyak mengoreksi guru.”
“Haha. Iya iya, itu benar kok. Jangan terlalu banyak mengoreksi guru, kalau tahu salah diam dulu
saja.”
“Iya kak, tapi aneh gurunya, gitu saja salah!”
“Haha. Terus, apa lagi yang terjadi di sekolah?”
“Hmm. Apa ya kak? Sudah kok, yang lainya Cuma biasa.”
“Haha. Ya sudah, medalinya di simpan yang benar.”
“Hah benar kak? Makasih kak!”
“Iya. Sudah dulu ya, kakak mau mandi dulu.”
“Ok kak!” Resa berdiri dan segera berlari keluar dengan berlari.
 Aku benar-benar tertawa melihat tingkah adik ku ini. Adik,satu-satunya
adikku, yang saat ini duduk di kelas dua sekolah dasar, seorang yang istimewa, begitu menurutku.
Aku sering terkesima dengan kepandaian adiku ini. aku masih ingat betul waktu Resa baru
pertama kali belajar membaca waktu usianya empat tahun. Sore hari aku memperkenalkanya
deretan huruf, dan paginya aku mendapatinya sudah hafal semua huruf itu. Besoknya lagi, dengan
terbata-bata dia sudah mampu merangkai huruf-huruf itu menjadi kata. Begitu juga ketika aku
mengajarkanya berhitung. Dan saat ini, ketika dia masih duduk di kelas dua, dia sudah paham
tentang konsep kuadrat dan akar pangkat. Banyak orang yang bilang aku orang yang sangat
pandai, tapi jelas, kelak Resa akan menjadi orang yang jauh lebih pandai dariku.
 Selain kemampuan otaknya yang aku rasa jauh di atasku, aku merasa Resa memiliki
banyak kesamaan denganku. Melihat tingkah Resa, kadang aku menjadi dengan tingkahku waktu
aku seusianya. Aku dulu waktu seusianya jgua sering jengkel kalau guru salah dalam menjelaskan,
dan aku sering mengoreksi mereka. Namun tidak semua guru mau menerima koreksi, apalagi
koreksi oleh seorang anak-anak. Aku sempat dibenci beberapa guru, dan aku tidak ingin hal ini
dialami juga oleh Resa. Resa sangat bangga padaku, dan aku sangat menyayanginya. Apapun
yang terjadi, aku berjanji untuk melindungi Resa.

***

Waktu menunjukan tepat pukul delapan ketika mama memanggilku dari ruang makan. Namun
aku tidak bisa langsung memenuhi panggilanya karena tubuhku masih terbalut handuk,  masih
basah kuyup. Tubuhku terasa begitu segar setelah mandi tadi, dan membuat perasaanku menjadi
lebih baik.
  Setelah aku mengeringkan tubuhku dan dan berpakaian, akhirnya aku turun ke bawah. Di
ruang makan, aku mendapati Resa telah duduk di meja makan, sendiri. Aku mencarri-cari di mana
Mama, dan aku menemukanya tidak jauh dari situ, tepatnya di dapur. Mama berpakaian lebih rapi
dari tadi sore, dan aku mendapatinya, sedidit berdandan? Astagaa, hanya untuk acara seperti ini
saja.
  Papa? Entahlah, aku belum  melihatnya. Apakah papa benar-benar bisa pulang lebih awal?
Papa adalah seorang dokter, dan dia terhitung sebagai seorang dokter yang ahli. Itulah mengapa
Ayah sering bekerja hingga lembur, dan bahkan kadang sampai ke luar kota untuk beberapa hari.
Tidak hanya memberikan jasa dokter, ayah sering diundang untuk mengisi seminar atau kuliah
umum.
  Aku duduk di kursi yang terletak di sebelah Resa. Berbagai makanan telah terhidang di
meja oval yang terletak di tengah ruangan ini. Empat kursi mengelilingnya, dan dua diantaranya
kini masih kosong. Tidak lama kemudian, mama memasuki ruangan tersebut dengan membawa
minuman, dan berbidir di dekat salah satu kursi yang tersisa.
“Sudah selesai ma?”, aku bertanya.
“Sudah”, mama menjawab sambil merapikan susunan makanan yang ada di meja.
“Papa?”
“Sudah. Dia lagi di lantai atas. Tadi bilang mau mandi dulu.”
“Ah, aku benar-benar tidak tahu bagaimanan mama memaksa papa sampai Papa mau menuruti
mama”, aku berkata sambil menatap langsung mama. Tiba-tiba mama tertawa, tawa kecil yang
sedikit meledak. Mungkin karena mama tidak menyangka aku akan menanyakan hal ini lagi.
“Sudah aku bilang ini urusan orang dewasa kan?”, mama menjawab sambil tetap tertawa.
“Haha, ok ok, orang dewasa. Dan aku masih anak-anak?”
“Memang! Kau pikir apa?”
“Bagaimana menurutmu Sa, kakak masih seperti anak-anak?”
“Hah? Tidak Kak. Kakak sudah besar kan?” Resa menjawab dengan agak terkejut, sambil
memegangi kue yang sedang dimakanya.
“Ok ma, voting  2-1, aku sudah dewasa”, aku berkata sambil menatap mama, menantang. Mama
hanya tersenyum.
“Indonesia Negara hukum, dan mengakui warganya sebagai seseorang yang cakap hukum ketika
usianya sudah delapan belas tahun. Jadi, pendapat kalian belum bisa diakui”, kini mama tertawa.
Dia menghembuskan nafas yang kuat, menyilangkan tanganya di dada dan memandangi susunan
makanan yang terletak di meja. Aku tidak bisa menjwaab kata-kata terakhir mama, dan
membiarkanya menang. Aku tidak mau dikalahkan lebih jauh dari ini.
“Nah, done. Saatnya memanggil si Bos”, mama berbalik dan melangkah ke lantai atas. Sementara
mama sedang tidak ada di ruangan bersamaku, aku menghabiskan waktu memakan kue dan
bercanda dengan Resa. Sekitar sepuluh menit kemudian, Mama turun, besama Papa.
“Malam Pa”, aku dan Resa menyapa papa hampir bersamaan. Papa tidak langsung menjawab,
tapi mengambil duduk terlebih dulu di salah satu kursi yang kosong. Baru setelah dia merasa
nyaman dengan posisi duduknya, papa baru menatap kami.
“Malam nak”, papa menjawab dengan suara yang datar. Wajahnya terlihat lelah. Kacamatanya
yang tebal tidak bisa menyembunyikan kantung matanya yang hitam dan besar. Mama kemudian
duduk di sebelahnya.
  Papa dan mama. Aku melihat mereka duduk berdampingan. Aku tahu setiap orang akan
mempunyai kesan yang sama denganku setiap kali melihat papa dan mama berdampingan. Sudah
aku jelaskan tadi, mama adalah seorang wanita berusia tiga puluh delapan tahun yang tampak
jauh lebih muda dari usianya yang sebenarnya. Dia terlihat sangat cantik, dan modis. Papa? Papa
adalah seorang laki-laki berambut model sederhana dan terkesan kaku. Aku hampir tidak pernah
melihat Papa tidak mengenakan kacamata. Tubuhnya terlihat kaku, tidak energik. Apa yang
terkesan darinya? Jika mama terkesan begitu muda, maka sebaliknya. Di usianya yang baru
menginjak angka tiga puluh tujuh, papa terlihat jauh lebih tua. Dia terlihat seperti pria berusia
empat puluhan.
  Yap, mama memang lebih tua setahun daripada Papa. Mereka pertama kali bertemu ketika
masih bersekolah di SMA. Mama adalah kakak kelas Papa. Waktu papa kelas satu, mama sudah
kelas tiga, dan merupakan panitia ospek bagi angkatan papa. Aku selalu tertawa mendengar
cerita mama tentang masa-masa papa ospek, tentang bagaimana mama melihat Papa yang
notabene sebagai anak kutu buku dikerjai habis-habisan oleh seniornya, termasuk mama.
  Walaupun mereka sudah saling mengenal ketika masih di duduk SMA, namun mereka saat itu
masih jauh dari kata dekat. Waktumereka sama-sama duduk di bangku  SMA, mama terkenal
sebagai primadona sekolah, wanita paling cantik. Sedangkan papa? Mungkin hanya teman
sekelasnya yang kenal. Papa dari dulu hingga sekarang, adalah seseorang yang tidak pandai
dalam bergaul, termasuk bergaul dengan anak-anaknya. Berbeda dengan mama yang hampir
selalu bercanda, papa hampir tidak pernah bercanda. Dia selalu berbicara serius, dan mungkin itu
pulalah yang membuatku heran papa mau datang malam ini.
  Papa dan mama akhirnya menjadi dekat ketika mereka sudah berada di bangku kuliah.
papa dan mama kuliah di universitas yang sama, walaupun mereka berbeda fakultas. Papa
berada di fakultas kedokteran, dan mama di fakultas hukum. Papa waktu kuliah sebenarnya masih
sama saja dengan papa waktu SMA, hanya saja papa waktu kuliah  kepandaianya sudah terkenal,
sehingga tidak terkesan kuper seperti halnya ketika dia masih di SMA. Begitu juga dengan mama
yang  terkenal pandai. Mereka menjadi orang-orang penting di fakultasnya masing-masing.
  Waktu papa semester tiga dan mama semester akhir, mereka kembali bertemu. Dan aku
tidak tahu apa yang terjadi, enam bulan kemudian mereka menikah. Mereka menikah di usia yang
masih sangat muda.Setahun kemudian, aku lahir.
“Jadi, dalam rangka apa kita berkumpul malam ini?” suara papa mengemballikanku ke dalam
kehidupan nyata.
“Kak Ryan Pa, kakak!” Resa berkata dengan penuh semangat sambil memegangi sendok dan
mengacungkanya.
“Kenapa Kak Ryan Sa? Pelan-pelan” papa menengahi suara Resa yang meluap-luap.
“Biar Ryan sendirilah yang cerita, Sa”, mama berkata sambil melirikku. Wajahnya jahilnya terlihat
jelas.
“Ah mama, bukan aku kan yang bersikeras mengadakan acara ini. Lagian memang tidak pantas
untuk dirayakan”, akau berkata dengan nada malas.
“Dia benar-benar anakmu, pemalunya!” Mama berkata sambil menepuk pundak papa.
“Ryan, ceritalah. Papa sudah menyempatkan waktu, dan mama sudah repot-repot memasak”,
papa berkata sambil menatapku. Nadanya datar.
Benar juga, lagipula sangat jarang kami berkumpul seperti ini.
“Tim basket sekolahku juara tingkat provinsi pa. Kami lolos ke liga nasional.”
Sepi sesaat.
“Oh, itu”, hanya itu yang keluar dari mulut papa. Dingin bukan?
“Apa-apan, oh saja?” mama berkata dengan nada tinggi sambil memukul pundak Papa.
Terdengar keras pukulanya.
Aku terdiam.
“Itu hebat lhoh pa!” Resa menambahkan dengan penuh semangat.
“Tahu ini papamu. Pegang bola saja tidak bisa. Dia tidak tahu saja apa artinya itu”, mama kini
terlihat cemberut. Papa tidak menatap seorangpun, seperti biasanya, dan terlihat sibuk memilih
kue yang sama dengan yang dimakan Resa.
“Iya, selamat. Tapi jangan lupa belajarmu”, akhirnya papa berkata. Masih dengan nada datar.
“Terimakasih Pa”, aku sedikit malu. Sesuatu yang langka papa memujiku, dan juga Resa. Mama
selalu berkata, bukanya papa tidak menghargai. Dia hanya tidak tahu bagaimana
mengungkapkanya. Dan itulah mengapa aku heran, bagaimana ayah bisa menikah dengan mama.
“Olimpiademu bagaimana?” ayah melanjutkan.
“Dua minggu lagi pa, seleksti tingkat kota.”
“Ingat, emas IPHO”, ayah menambahkan.
“Emas? Kakak pasti bisa!” Resa menyambung.
“Aku berusaha, Pa.”
“Kalian ini, benar-benar mirip!”
Mirip? Mungkin. Waktu SMA papa juga ikut olimpiade, bahkan sampai mendapat emas tingkat
internasional. Jika aku ikut dalam bidang fisika, maka ayah dalam bidang biologi. Tidak heran jika
sekarang dia menjadi seorang dokter hebat.
“Dan kalian tidak tahu kapan waktunya untuk membicarakan tentang hal-hal membosankan, dan
waktu untuk bersenang-senang”, mama berkata sambil menyiapkan makanan pembuka.
“Aku tahu ma, sekarang waktu untuk bersenang-senangkan?”
“Tentu saja, bodoh.”
Semua tertawa, dan perayaan kecilpun dimulai. Kami membicarakan apa saja, dan tentu saja
mama mendominasi semuanya.
Pukul sepuluh malam, kami akhirnya mengakhiri perayaan kecil tersebut. Aku kembali ke
tempat tidurku, dan menutup hari itu dengan senyuman. Walaupun pikiranku masih dipenuhi tanda
Tanya tentang kejadian di GOR tadi sore, tapi keluargaku telah mengobati perasaan itu. Aku
benar-benar bersyukur memiliki keluarga seperti ini. Aku bisa berpikir dengan tenang untuk
menanyakan hal tersebut secara langsung ke Putri besok. Semua akan baik-baik saja.
Lelah dan pikiranku yang tenang segera mengantarkanku ke alam mimpi. Aku terbangun lebih
siang dari biasanya. Aku bergegas untuk bersiap, dan segera berangkat. Jika biasanya aku tiba di
sekolah sepuluh menit sebelum pelajaran dimulai, kini aku tiba ketika bel sudah hampir berbunyi.
Aku membayangkan Putri sudah menungguku di depan pintu kelasku, dan aku bergegas berlari.
Ketika aku sampai di depan kelas, ternyata masih ada waktu tiga menit sebelum bel
berbunyi. Namun aku benar-benar kecewa dan merasa sesuatu yang menyesakan ketika tidak
kudapati Putri tidak berada di depan pintu kelasku. Tidak seperti biasanya.
Setelah aku meletakan tasku di dalam kelas, aku melangkahkan kakiku keluar lagi menuju ke
depan kelas. Dan apa yang aku lihat membuatku semakin tidak mengerti dengan apa yang sedang
terjadi. Dari kejauhan, aku melihat Diaz dan putri berjalan bersama, dan keduanya masih
membawa tas masing-masing. Mereka berjalan sambil terlihat saling tersenyum. Aku tahu aku
tidak boleh berpikiran negatif dan gegabah, tapi aku tetap tidak bisa membuat hatiku tenang. Ada
apa ini?

***

Lagi, aku melihat jam tanganku. Hari semakin terasa panas saja, yang menurutku ini wajar
karena memang hari semakin siang. Namun tidak seperti biasanya, tempat parkir kali ini sudah
sepi di jam seperti ini, apalagi mengingat hari ini adalah hari selasa yang semestinya sekolah
masih di penuhi orang. Hari ini berbeda, entahlah aku tidak tahu alasanya, tapi sekolah bubar pada
pukul sebelas tadi. Dan sejak waktu itu pula, hingga kini setengah jam telah berlalu, aku menunggu
di kanopi dekat parkiran. Tadi waktu diumumkan bahwa pelajaran dialhiri lebih awal, Putri sms
aku, memintaku untuk menunggu. Dia mengajakku pulang bersama, dan tidak bisa langsung
pulang karena ada rapat kelas.
Ah Putri, gadis itu. Sejak kejadian sekitar satu setengah bulan yanhg lalu, kejadian ketika
final turnamen basket tingkat provinsi, aku semakin yakin dengan perasaanku kepadanya. Aku
malu sempat salah paham dan berpikiran negatif terhadapnya mengenai kejadian di GOR dan
pagi setelahnya, dan aku sungguh malu akan hal itu.
Sebelumnya, aku sudah tahu bahwa Diaz dan Putri adalah teman baik sewaktu SMP, dan
aku tidak tahu mengapa mereka tidak dekat lagi sewaktu SMA. Sore itu di GOR, ketika Putri
melihat permainan Diaz, putri teringat pertemanan mereka. Dan, wush. Tiba-tiba mereka merasa
dekat lagi.
Pagi harinya?
Motor Putri bocor pagi hari itu ketika Putri akan berangkat ke sekolah. Karena rumah Putri
dan Diaz berdekatan, jadi Putri membonceng Diaz. Hanya seperti itu. Putri dan Diaz
menjelaskanya kepadaku, tanpa aku memintanya. Sejak hari itu, mereka semakin dekat, dan aku
senang karenanya. Mereka berteman lagi. Dan setelahnya, sikap Putri kepadaku menjadi biasa
lagi. Tiap pagi setelahnya, aku mendapati lagi Putri berdiri di depan kelasku, menungguku. Sejak
itu, Diaz bisa bergabung bersama kami berdua di dalam pembicaraan. Jadilah kami tiga
serangkai.
Putri. Tiap hari dia semakin manis. Manis, dalam hal segalanya. Dia sangat pengertian.
Ketika aku sibuk mempersiapkan dan mengikuti olimpiade tingkat kota sebulan yang lalu, dia
sangat menghargai waktuku. Aku memang sedikit sibuk waktu itu, memimpin timku. Dan hasilnya
lumayan, delapan dari sepuluh wakil kotaku berasal dari sekolahku.
Satu minggu penuh kemarin, aku mengikuti pembinaan Tim olimpiade provinsiku di sebuah
hotel di kotaku. Aku baru pulang dari pembinaan itu kemarin setelah seminggu penuh menginap di
hotel tersebut dan tidak masuk sekolah. Karena pembinaan ini juga, aku absen dalam liga basket
nasional. Selama itu pula, Putri benar-benar menjadi begitu manis. Entahlah apa sebutanya, aku
bukan orang romantis. Aku hanya selalu mendapatinya ada untukku dan selalu memahamiku. Dia
tidak mengeluh mengenai waktuku yang tersita. Beberapa kali dia menjenguku, hanya sekedar
untuk bertemu denganku. Dia membawakan kue kesukaanku, dan aku merasa dia lebih tahu apa
yang aku butuhkan dibandingkan aku sendiri.
Selama pembinaan itu sendiri, aku menjadi ketua tim lagi. Tidak terlalu berpengaruh banyak
sih hal ini, tapi memang sedikit menuntutku untuk lebih memikirkan timku. Aku ingin Timku Berjaya
di olimpiade tingkat nasional nanti. Dan lebih menyenangkan lagi, aku mendapatkan teman-teman
yang sangat ramah. Dengan cepat, aku menjadi akrab dengan mereka. Di timku, ada tiga gadis
yang memiliki kemampuan menonjol di antara lainya. Mereka inilah yang paling dekat denganku,
karena memang mereka yang paling sering bertanya dan mengajakku berdiskusi.
Dua hari lagi seleksi tingkat provinsi, dan aku benar-benar berharap semuanya akan lancar.
“Hei! Sudah lama!” sebuah suara dan sebuah tepukan di punggungku membuyarkan lamunanku.
Putri. Aku menoleh dan mendapati wajah manisnya tersenyum. Dia menyapu rambut panjangnya
yang sedikit menutupi wajah dan kacamata hitamnya, dan menurutku dia begitu manis karenanya.
“Hanya setengah jam”, aku menjawab dengan sedikit tertawa setelah melihat jam tanganku.
“Sudah makan?” aku bertanya.
“Belum sih”, dia menjawab setelah aku berdiri. Kini kami berjalan berdampingan di kanopi, dan
suasana begitu sepi. Seminggu tidak bertemu denganya di sekolahnya, dan aku mendapatinya kini
begitu manis. Ah, hanya manis yang dapat aku ungkapkan. Aku tidak tahu apa sebutanya.
Tiba-tiba aku teringat suara mama.
“Kau sangat mirip ayahmu!”
Ah, aku memang kaku. Entahlah. Aku hanya nyaman berada di dekatnya, dan hanya ketika
bersamanya aku merasa begitu. Aku tidak pernah merasakan hal yang sama terhadap gaadis lain.
Aku hanya ingin selalu bersamanya. Aku tidak bisa mengungkapkanya dengan kata-kata, dan aku
berharap dan yakin Putri sudah paham mengenai hal ini.
“Kalau begitu, kita makan dulu. Sudah seminggu tidak makan bareng”, aku berkata sambil
berbelok ke arah tempat parkir mobilku. Putri mengangguk dengan senyumnya, tanda setuju.
Suasana sangat sepi ketika kami meninggalkan parkiran sekolah menuju tempat makan
yang terletak di taman kota. Taman itu sendiri merupakan taman yang sejuk, sebuah green area
yang cukup luas. Walau ini merupakan tengah hari, namun berada di sini tetap terasa sejuk dan
tidak panas. Kami turun dari mobil, dan berjalan berdampingan lagi dari parkiran menuju tempat
makan yang kami tuju.
Sekali aku menatap wajah gadis yang berada di sampingku. Aku tersenyum, dan aku
tidak tahu kenapa. Mungkin ini yang namanya rindu? Ah, tiba-tiba aku ingin memegang tanganya.
Ingin rasanya berjalan bergandengan tangan denganya. Namun, apa itu oke? Maksudku, apakah
dia tidak keberatan? Aku nyaris memgang tanganya, tapi tiba-tiba dia menoleh dan mengajakku
berbicara. Gagal sudah harapanku. Hingga sampai di tempat duduk, aku tidak sampai memegang
tanganya.
Waktu berjalan begitu cepat ketika aku bersamanya. Kami membicarakan ini itu, dan
tiba-tiba aku baru sadar bahwa kami telah selesai makan. Kami beranjak meninggalkan tempat
makan tersebut.
“Mungkin nyaman duduk di situ”, Putri berkata sambil menunjuk sebuah kursi panjang yang berada
di bawah sebuah pohon.
“Mungkin”, aku berkata sambil melangkahkan kakiku menuju ke kursi tersebut.
Kami duduk di situ, sejenak memandangi langit yang Nampak begitu biru dan anak-anak kecil yang
tengah asyik bermain.
“Kak, boleh aku bertanya?” Putri membuka pembicaraan. Aku menatap wajahnya, dan mendapati
raut wajah serius. Ok, aku siap.
‘Tentu”, aku menjawab sambil tersenyum. Putri tidak tersenyum. Baiklah, dia benar-benar serius.
“Bagaimana perasaanmu sebenarnya kepadaku?” Putri bertanya setelah mengembuskan sebuah
nafas pendek. Sepertinya dia memberanikan diri untuk bertanya hal ini kepadaku. Dan aku tidak
habis pikir, kenapa dia menyakan hal ini kepadaku. Satu setengah tahun tidak cukup untuk
memahaminya?
“Hmm. kenapa tiba-tiba Put?”
“Sudahlah, jawab saja Kak” Putri berkata dengan tatapan lurus ke mataku, berusaha melihat
kejujuran di dalamnya.
Ah, apa yang harus aku katakan? Aku tidak pandai dalam hal ini. Ini maksudmu ma,
mengatakanku sangat mirip dengan ayah? Apa, apa yang harus aku katakan?
“Kak?”
“Hmm. Bagiku, kau sangat manis, Put”, aku menjawab dengan hal yang terlintas di kepalaku. Dan
sayangnya hanya hal itu yang ada di kepalaku.
Aku menatap Putri. Tiba-tiba bahunya turun, seolah-olah rasa kecewa yang begitu besar telah
menghantamnya. Dia tertunduk. Tanganya kini menopang kepalanya.
“Put? Ada apa ini?” aku khawatir.
Sepi.
“Put?”
Ah ada apa ini.
“Tidak apa-apa. Aku pulang dulu kak. Tidak perlu mengantar, aku ingin pulang sendiri.”
“Hah? Ada apa Put? Kenapa..-“ kata-kataku terpotong. Putri telah berdiri, melangkah menuju jalan
raya. Aku mengejarnya.
“Put, ada apa? Aku salah?”
Putri hanya diam saja. aku masih mengejar. Dia mengangkat tanganya, memanggil taksi, dan
dengan cepat sebuah taksi berhenti. Putri membuka pintu. Aku menahan pintu tersebut ketika dia
bermaksud menutupnya.
“Ada apa Put, kenapa ini?”
“Aku hanya ingin pulang sendiri!” putri berkata dengan nada tinggi, nyaris berteriak. Aku kaget,
baru pertama kali ini aku melihatnya. dan sedetik aku tertegum itu, pintu taksi telah tertutup, dan
taksi itu segera berlalu.
Aku benar-benar tidak tahu ada apa ini.
Aku mengambil ponselku, dan segera menelepon Putri. Ponselnya tidak aktif.
Ada apa?

***

Hari ini, dua hari setelah putri bersikap aneh di taman itu, aku masih belum tahu apa yang
membuatnya menjadi seperti itu. Bukanya aku tidak mencari tahu apa penyebabnya, tidak. Aku
telah berusaha semampuku. Aku mencoba menghubunginya melalui ponsel, tetapi nomornya tidak
aktif. Aku kemarin berusaha menemuinya di sekolah, tetapi Putri tidak masuk sekolah. Sepulang
sekolah aku mampir ke rumahnya, tetapi aku hanya bertemu dengan ibunya yang mengatakan
Putri sedang keluar. Aku tidak tahu apakah ibunya berbohong kepadaku, yang jelas aku tidak bisa
memaksa masuk ke dalam rumahnya.
Dan pagi ini, aku harus mendapat jawabanya. Pukul delapan nanti, aku akan mengikuti
seleksi tingkat provinsi, dan masih ada cukup waktu bagiku untuk menemui Putri di sekolah. Aku
benar-benar berharap dia sudah masuk sekolah. Hal apa yang dapat membuatnya hingga jadi
seperti ini? Jika dia berusaha menghindar sampai seperti ini, pasti bukan masalah yang kecil. Dan
yang lebih membuatku penasaran adalah, dia menghindariku, yang berarti penyebab dari semua
ini adalah aku. Apa yang salah denganku?
Sesuai rencana, sebelum aku ke Dinas pendidikan provinsi yang terletak di kotaku, aku
sempatkan ke sekolah dulu. Sebenarnya, bagi siswa yang mengikuti seleksi olimpiade disarankan
untuk mempersiapkan diri dan langsung berangkat ke Kantor dinas tanpa ke sekolah dulu. Namun,
dengan berseragam rapi pagi ini, lebih pagi dari biasanya aku datang, aku telah berada di
sekolah. Aku tinggalkan tas di dalam mobil, karena aku memang hanya berniat untuk bertemu
Putri. Jika biasanya, setiap pagi Putri selalu menungguku di depan kelasku, maka pagi ini akulah
yang menunggunya di depan kelasnya.
Sudah lebih dari sepuluh menit aku menunggunya, dan belum juga aku mendapati wajah
cantik itu pagi ini. apakah dia tidak akan masuk lagi? Apakah sebegitu berat kesalahanku hingga
dia tidak masuk lagi? Apakah masalah ini begitu besar? Kemarin dia hanya bertanya kepadaku,
bagaimana perasaanku. Kenapa di bertanya seperti itu? Apakah satu setengah tahun tidak cukup
baginya untuk mengeri perasaanku? Jawaban apa yang harus aku berikan?
Aku masih berdiri di depan pintu kelasnya, ketika aku melihat Putri berjalan di lorong-lorong
kelas, ke arahku. Aku memperbaiki posisi berdiriku yang tadi setengah bersandar ke dinding. Putri
melihatku dan tetap melangkahkan kakinya. Selama aku menanti itu, dunia seolah berhenti. Aku
berdebar-debar menantikan kelanjutan dari semua ini. Aku bertanya-tanya, apakah dia baik-baik
saja? maukah dia menjelaskan kepadaku tentang apa yang sebenarnya terjadi?
Aku memajukan langkahku, kini sejajar dengan daun jendela kelas yang terbuka.
“Put, kau baik-baik saja?” aku bertanya begitu kami sudah cukup dekat.
“Baik kok” Putri berkata sambil berhenti. Nadanya datar, dan entah kenapa dia berusaha untuk
tidak menatapku.
“Kemarin kenapa tidak masuk?”
“Hanya demam saja”, putri menjawab masih dengan nada datar.
“Kau masih marah?”
“Marah? Siapa yang marah?” kali ini dia menatapkku sesaat, dan membuang lagi tatapan itu.
Matanya tidak bersinar seperti biasanya.
“Ayolah, kemarin kau tiba-tiba meninggalkanku di taman. Ada apa put?”
“Bukankah sudah aku katakan, aku hanya ingin pulang sendiri saja? aku ada urusan”, masih
dengan datar. Benarkan, ada yang salah. Putri yang aku kenal adalah seseorang yang
bersemangat, tidak seperti ini.
“Aku tidak sebodoh itu Put. Aku tahu ada yang salah. Katakanlah Put, aku mau memperbaiki
kesalahan itu kalau kau memberitahuku”, aku berkata dengan nada memohon saat ini.
“Tidak ada yang salah. Aku mau belajar di kelas, ada kuis”, Putri berkata sambil berjalan
melewatiku. Dia menghindar? Ah tidak bisa seperti ini, aku harus mendapatkan jawabanya. Maka
aku berbalik, meraih tangan kananya, menahanya. Putri tampak sedikit kaget, namun dia tidak
membalikan badanya. Dia tetap membelakangiku.
“Aku mohon Put. Menghindar tidak akan menyelesaikan masalah. Aku mohon, katakan padaku”
aku berkata pelan, nyaris berbisik. Aku benar-benar memohon.
“Aku tidak menghindar. Tidak ada masalah, semua baik-baik saja. Jadi aku mohon, lepaskan
tanganku” Putri menjawab dengan pelan juga.
“Tidak, sampai kau mau memberitahuku”, aku bertahan.
“Keras kepala! Tidak ada yang harus aku katakan, tidak ada apa-apa! Lepaskan atau aku
berteriak!” Putri kali ini berkata dengan nada yang tinggi. Aku sekilas melihat dua siswi yang
memasuki kelas Putri, melihat ke arah kami dengan tanda Tanya di wajah mereka. Oke, kami
menarik perhatian mereka.
“Tidak sampai kau menceritakan, Put”, aku akui kali ini aku memaksa.
Putri diam, sesaat sepi. Sesaat kemudian, Putri berusaha melepaskan tanganya yang kini aku
pegang erat. Dia tidak mampu melepaskanya.
“Ada apa Put? Ada masalah?” sebuah suara tegas dan sedikit keras memecah kesunyian. Sesook
pemilik suara itu, yang tadi di belakangku, kini berada di sisi sebelah Putri. Diaz.
Putri hanya menatap Diaz. Diaz kemudian menatapku.
“Ada apa Yan?” dia bertanya kepadaku.
“Tidak ada apa-apa, hanya sedikit urusanku dengan Putri”, aku menjawab dengan nada datar,
sedikit mengabaikan. Aku sedang tidak berniat berbicara dengan orang lain.
“Bukankah sudah aku katakan, tidak ada yang perlu dibicarakan! Lepaskan” Putri menyahut.
‘Diaz menatapku. Aku mengabaikanya.
“Lepaskan, yan” Diaz berkata dengan nada datar, yang rasanya mengandung nada yang lain.
“Tidak akan, aku hanya ingin berbicara”, aku akui aku keras kepala saat ini.
“Lepaskan”, Diaz berkata dengan nada yang tertahan.
Aku mengabaikan.
Putri meronta, berusaha melepaskan tanganya. Beberapa orang memandang ke arah kami. Aku
sudah tidak peduli lagi.
“Aku mo..-“ aku belum menyelesaikan kalimatku ketika aku merasakan benturan di pipiku.
“Bruuuk! Prangggg!!”
Sebelum semuanya menjadi gelap, aku masih dapat merasakan benturan di pipiku. Aku masih
sempat mendengar dua suara itu. Dan setelah itu gelap.
Aku tidak tahu pasti seberapa lama gelap itu menguasaiku. Yang aku ingat, perlahan
sebuah titik cahaya muncul di dalam kegelapan itu, dan dengan perlahan titik itu membesar. aku
tidak sadar dai mana titik itu datang hingga aku menemukan bahwa dengan perlahan pula aku
mencoba untuk membuka mataku. Ada semacam rasa berat ketika aku mencoba untuk membuka
mataku. Hingga akhirnya semua berubah menjadi terang, dan aku mendapati ruangan di sekitarku
begitu asing. Aku terbaring, dan tidak ingat atau tahu di mana ini. Aku tidak tahu apa yang terjadi.

***

Butuh waktu sekitar satu menit setelah aku membuka mata untuk mendapatkan
kesadaranku secara penuh. Ketika aku mendapatkan kesadaran itu, aku secara tiba-tiba
merasakan ngilu dan sakit yang luar biasa di kepalaku. Aku merasakan kepalaku begitu berat,
seperti terbebani oleh beban yang maha dasyat. Aku penasaran dengan apa yang terjadi dengan
kepalaku, dan berniat untuk meraba kepalaku. Ketika aku baru mengangkat tanganku, sebuah
suara menghentikanku.
“Jangan banyak bergerak dulu kak”, sebuah suara yang sangat aku kenal. Aku mencoba mencari
sumber suara itu, namun karena sakit di kepalaku, aku tidak dapat menggerakanya dengan
leluasa. Akhirnya pemilik suara itu menghampiriku, dan berdiri di samping ranjang tempatku
terbaring.
“Di mana ini Put?” aku berkata dan kemudian agak kaget karena mendengar suaraku sendiri.
Suaraku begitu lemah.
“Di rumah sakit Kak”, putri menjawab. Suaranya bergetar. Dia habis menangis? Ada apa?
“Kau kenapa Put? Kau mengangis?” aku bertanya tanpa bisa menyembunyikan perasaan
khawatirku.
“Tidak kak. Sudah, jangan banyak bergerak dulu, nanti jahitan di kepalamu terasa sakit”, putri
berkata masih dengan nada bergetar. Aku memandang wajahnya, dan mendapati matanya
sembab. Ok, dia benar-benar menangis. Ada apa ini?
“Kenapa kita di rumah sakit? Aku kenapa?” aku baru sadar. Aku terbaring, dan rasa sakit di
kepalaku. Ini rumah sakit, dan mungkin Putri menangis karena aku. Tapi apa yang terjadi
kepadaku? Aku ingat, terakhir kali aku sedang memegang tangan Putri. Ya, memegang tanganya,
dan tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Apa yang menyebabkan gelap itu?
Belum juga Putri menjawab suaraku, sebuah suara lain, yang juga sangat familiar bagiku,
terdengar. Kali ini suara itu terdengar sedikit keras, mungkin berteriak dari luar ruangan.
“Ryan, Ryan!”, suara mama. Tidak lama kemudian aku mendengar pintu terbuka, dan mendapati
mama setengah berlari masuk ke dalam ruangan. Mama terlihat hanya memakai baju rumah, dan
wajahnya sangat natural. Aku menduga dia terburu-buru datang ke sini tanpa sempat berkaca.
“Ryan, kau baik-baik saja? Kenapa Ryan, kenapa kau berkelahi? Ada apa, siapa yang
memukulmu?” Mama bertanya nyaris tanpa jeda. Aku berusaha memasukan apa yang barusan
mama katakan ke dalam kepalaku. Namun ketika itu pula, aku merasakan kepalaku tiba-tiba
terasa begitu ngilu.
Aku berkelahi? Benarkah? Dengan siapa? Aku benar-benar tidak ingat.
“Aku baik-baik saja ma”, aku menjawab pelan. Mama berdiri di sisi ranjang yang berseberangan
dengna Putri, kemudian mama mendekat ke arahku. Tanganya memegang pelan ke dahiku,
mengelus.
“Sembilan jahitan kau bilang baik-baik saja?” mama terlihat panik. Baru sekali ini aku menyaksikan
mama panik seperti ini.
“Sembilan?” aku tidak percaya dengan apa yang barusan aku dengar. Kenapa kepalaku bisa
sampai dijahit?
“Kau benar-benar tidak ingat Ryan?” mama bertanya sambil memandang ke arahku dalam-dalam.
Aku tidak memberikan respon, yang berarti aku memberitahunya bahwa aku memang benar-benar
tidak tahu.
“Putri, aku harap kau mau menjelaskan pada kami apa yang sebenarnya terjadi!” mama
memandang lekat Putri, sama seperti kebiasaanya jika bertanya hal-hal penting kepadaku.
Selama ini aku belum pernah memperkenalkan Putri ke Mama, dan aku tidak tahu bagaimana
Mama bisa tahu mengenai Putri.
“Maaf Tante, semua ini salahku”, Putri berkata lagi, dan kali ini nyaris menangis. Mama menyadari
Putri sedang ketakutan.
“Sudahlah Put, kau lihat sendiri Ryan tidak apa-apa. Tidak ada yang menyalahkan siapa atau apa.
Tante hanya ingin tahu kejadian yang sebenarnya. Tante tidak percaya Ryan berkelahi, atau
memancing perkelahian”, mama menjelaskan dengan nada yang sangat menenangkan. Sejenak
Putri memandangku. Aku mengangguk.
“Diaz Tante. Tadi Ryan dipukul Diaz. Kepala Ryan membentur kaca jendela hingga kaca itu pecah,
dan Ryan pingsan”, Putri kali ini menangis.
“Kenapa Diaz sampai memukulnya?” mama bertanya kepada Putri sambil menatapnya lekat. Putri
tertunduk, tidak menjawab. Ah, jadi tadi Diaz memukulku. Mungkin aku langsung pingsan oleh
pukulan itu, hingga tidak ingat semuanya. Aku roboh dalam sekali pukul, dan aku tidak heran
mengingat badan Diaz yang besar dan atletislah yang memukulku. Kenapa Diaz sampai
memukulku? Ah aku ingat, tadi aku memaksa Putri. Benar juga, mungkin Diaz berpikir aku sedang
menyakiti Putri.
“Ryan?” mama memandangku sambil mengangkat satu alisnya, meminta penjelasan. Aku
menundukan wajahku. Aku tidak mau menjawab, mungkin karena aku tidak tahu jawabanya atau
karena aku enggan mengungkapakan sikap bodohku tadi.
“Hahh, dasar anak muda!” mama berkata setelah menghembuskan nafas panjang. Mama bertolak
pinggang, kemudian memegangi dahinya dengan satu tangan kirinya. Setelah Nampak berpikir
sejenak, mama kemudian mengelus lagi dahiku.
“Bodoh, jangan buat khawatir orangtua lagi! Mama harap, kau segera menyelesaikan masalahmu,
kalau tidak mama yang akan bertindak!” setelah berkata demikian, mama berdiri tegak lagi
sambil tersenyum kepadaku dan Putri. Ah, thanks mom.
“Ma, jangan sampai papa tahu ya”, aku memohon.
“Tenang saja” mama tersenyum.
“Diaz sekarang di mana Put?” aku bertanya kepada Putri.
Putri tampak bersedih lagi.
“Dia tadi di sidang di BK”, Putri menjawab dengan suara yang masih bergetar.
BK? Ah, ini gawat. Berkelahi bisa berakibat fatal di sekolahku. Bisa skors, dan bahkan mungkin
dikeluarkan. Apalagi tadi ada beberapa saksi yang menyaksikan Diaz memukulku yang tanpa
perlawanan. Bisa gawat.
“Mama, bisa minta tolong lagi ma?”
“Apa?” mama bertanya sambil menopang kedua tanganya di dada.
“Bisakah mama ke sekolah? Katakan kepada pihak sekolah bahwa aku tidak apa-apa, dan Yang
tadi pagi itu bukan salah Diaz, hanya kecelakaan ma” aku berkata dengan setenga memohon.
“Hah, kau ini merepotkan saja!” mama berkata, dan aku tahu dari nadanya bahwa mama tidak
benar-benar keberatan.
“Ayolah ma, bukankah keahlian mama untuk beragumen? Ceritakan apa saja lah ma, yang penting
bisa meringankan Diaz. Atau, kemampuan itu sudah hilang?” aku menantangnya, menantang
seorang mantan pengacara hebat.
“Kau terlalu meremehkanku! Baiklah, kau tenang saja di sini. Istirahatlah, mama ke sekolahmu
sebentar”, mama kali ini merapikan tempatku berbaring, dan bergegas keluar. Sedetik mama
keluar, seorang dokter masuk dan memeriksa keadaanku, dan mengatakan bahwa aku baik-baik
saja. dokter itu kemudian meninggalkan ruangan, dan kembali hanya aku dan Putri di ruangan itu.
Sepi sesaat.
“Berapa lama Put aku pingsan?”
“Dua jam, kurang lebih kak”, Putri menjawab setelah memandangi arloji di tanganya sesaat.
“Sekarang jam berapa memangnya?” aku merasa ada sesuatu yang penting, tetapi aku belum
menyadari betul apa itu.
“Setengah sembilan, kak”
Setengah Sembilan. Sepertinya ada sesuatu yang penting. Aku mengingat lagi rencanaku pagi ini.
jam delapan, tetapi apa?
Aku ingat, dan aku nyaris melompat karenanya.
Seleksi Provinsi!
Aku sudah terlambat setengah jam!
“Put, tolong Put, aku harus ke Kantor Dinas pendidikan sekarang Juga. Tolong urus administrasi
keluarku.”
“Apa? Kak, kakak masih harus istirahat!” Putri tampak protes keras.
‘Tolonglah! Atau aku akan menyesal seumur hidup!” aku berbicara dengan nada yang cukup tinggi.
Putri Nampak kaget. Aku berusaha berdiri. Awalnya memang begitu sakit. Aku merasakan darah
seperti terpompa di kepalaku, mengakibatkan sakit kepala yang luar biasa. Namun setelah
beberapa saat, aku merasakan semuanya baik-baik saja.
Putri memapahku keluar. Aku mengenakan pakaian seragamku yang ada bercak darahnya, dan
bergegas keluar. Putri masih berada di sampingku, dan aku memintanya memanggilkan taksi.
Tidak lama kemudian, taksi datang.
“Put, tolong ya urus semuanya. Aku akan menelepon mama agar segera membantumu setelah
urusanya di sekolah selesai. Aku mohon.”
“Tenanglah kak, kau hati-hati saja. Jangan terlalu memaksa”, aku dapat melihat kekhawatiran di
matanya. Aku tersenyum, dan dia membalasnya. Aku menutup pintu taksi, dan taksi itu segera
meluncur meninggalkan rumah sakit.
Aku meminta sopir itu untuk memacu taksinya dengan cepat. Bagaimanapun aku sudah terlambat
setengah jam. Waktu tes seleksi itu sendiri tiga jam. Memang waktunya sangat banyak, tetapi
soalnya pun bukan sembarang soal yang dapat di selesaikan dengan singkat.
Sekilas aku memandang wajahku pada spion di dalam taksi itu. Aku mendapati sebuah perban
putih melingkar di kepalaku, serta goresan-goresan berwarna hitam-merah berada di sekitar
wajahku, mungkin luka akibat tergores pecahan kaca. Nice, sebuah lukisan abstrak di wajahku!
Sekitar dua puluh menit kemudian, aku sampai di gedung dinas pendidikan tempat
dilaksanakanya seleksi. Aku berjalan dengan tergesa. Aku bersyukur tadi kartu peserta aku
masukan di dompet dan bukan di dalam tas yang berada di mobil. Aku berjalan dengan menahan
rasa sakit di kepalaku, berusaha mengabaikanya.
Akhirnya setelah sempat agak kebingungan mencari ruangan, aku sampai di depan pintu
ruangan tempat dilaksanakanya seleksi. Seorang bapak-bapak berusia sekitar awal lima puluhan
berada di depan ruangan, duduk di meja yang terpisah dengan orang-orang lain, yang tak lain
adalah teman-teman, sekaligus para pesaingku. Bapak itu melihatku, dan menghampiriku.
“Ada apa Dik?” suara bapak itu bergetar.
“Maaf pak, seleksi olimpiade fisika?” aku bertanya dengan sopan.
“Benar dik.”
“Maaf pak, saya salah satu peserta. Tadi pagi saya kecelakaan sehingga terlambat datang”, aku
berkata sambil menunjukan kartu tanda peserta.
“Oh, iya dik. Tapi waktu tinggal seratus sepuluh menit, dan tidak ada penambahan waktu. Apa
adik masih mau ikut?”
Aku menelan ludah. Seratus sepuluh menit? Aku telah kehilangan tujuh puluh menit. Aku yakin bisa
mengerjakan soal-soal itu, tapi jujur aku ragu apakah aku sempat menyelesaikan soal-soal itu.
“Iya pak”
“Kalau begitu silahkan duduk di meja yang bertuliskan nomor peserta Adik. Soal dan lembar jawab
sudah ada di meja”, Bapak itu berkata sambil memandangiku, lalu berbalik dan kembali ke
mejanya. Aku berjalan masuk, masih tetap menahan rasa sakitku.
Aku telah menantikan saat ini setahun penuh. Aku telah mengorbankan banyak waktu untuk hari
ini. Aku telah mengikhlaskan liga basket nasional demi hari ini. aku harus berhasil.
Aku duduk di kursi yang telah di sediakan, dan dengan bergegas membuka soal. Aku memandangi
sekilas. Tiba-tiba kepalaku berdenyut lagi, dan lagi. Aku nyaris berteriak.
Ah, lupakan sakit ini. hanya seratus menit! Lupakan masalah mengenai Putri sejenak!
Aku mendorong diriku dengan begitu keras, dan mulai menulis di kertas jawaban yang telah
disediakan.

***

Dua soal telah aku selesaikan dalam waktu dua puluh menit, dan masih tersisa tujuh soal
lagi. Dua puluh menit, seandainya aku tidak harus merasakan sakit di kepalaku setiap kali aku
berfikir dengan agak keras, aku yakin dapat menyelesaikan kedua soal itu dengan lebih cepat.
Aku harus meringis setiap kali aku merasakan denyutan hebat di kepalaku, seolah semua darah
terpompa ke kepalaku. Aku harus menjaga agar kepalaku tidak berada terlalu rendah dengan
tidak menunduk, untuk mencegah rasa sakit itu datang.
Aku melanjutkan, soal ketiga, keempat, dan kelima telah terselesaikan. Kali ini ketiga soal
ini aku selesaikan dalam waktu empat puluh menit. Sisa waktu tinggal lima puluh menit, dan soal
yang tersisa adalah empat. Seandainya aku bisa menahan rasa sakit ini untuk lima puluh menit ke
depan, aku tidak perlu khawatir dengan tes seleksi ini. Namun terus terang, aku merasa tiap detik
berlalu, semakin terasa pula denyutan di kepalaku.
Ketika aku mengerjakan soal ke enam, sakit mulai terasa tidak wajar. Kini bukan hanya
kepalaku saja yang berdenyut, tetapi tanganku mulai bergetar dan berkeringat. Tengkuk dan
bawah hidungku basah oleh keringat dingin. Tapi untunglah aku masih dapat bertahan untuk
menyelesaikan sampai soal ke tujuh dengan keadaan seperti itu. Memasuki soal ke delapan,
tiba-tiba aku merasa pusing di kepalaku menghilang. Tetapi aku mendapati tanganku bergetar
semakin cepat. Mataku berkunang-kunang. Pada saat aku menyelesaikan soal ke delapan,
bertepatan dengan Bapak pengawas itu mengumumkan waktu tinggal sepuluh menit, aku
merasakan sesuatu cairan merambat di dahiku. Aku mengusap dahi itu untuk memastikan,
menyentuh dengan sangat pelan luka bekas jahitan.
Aku merasakan basah. Aku menurunkan tanganku, dan kudapati cairan merah menutupi
telapak tanganku yang bergetar. Darah. pendarahan? Oke. Aku tiba-tiba menjadi sedikit panik.
Ayolah, tinggal satu soal lagi!
Aku menyeka darah tersebut dengan sapu tangan yang ada di saku celanaku. Aku
bersiap untuk memulai mengerjakan soal terakhir, ketika aku mendapati hidungku menjadi begitu
dingin, seperti menghirup uap es. Dingin. Bersamaan dengan itu pula, kunang-kunang di mataku
semakin banyak dan aku tidak bisa mengendalikan getaran di tanganku. Saat aku menunduk untuk
membaca soal, tiba-tiba beberapa tetes cairan merah menetes ke kertas soalku. Aku mencari
sumbernya, dan aku mendapati hidungkulah sumbernya. Pengawas ujian setengah berlari
menghampiriku. Aku mimisan, dan untuk kedua kali dalam hari ini, aku memasuki dunia gelap itu.
Dunia yang terbebas dari cahaya dan ikatan waktu. Dunia yang dalam sekilas dapat membawa
seseorang yang memasukinya untuk tiba di masa depan. Yap, aku pingsan, lagi.
Aku terbangun di sebuah ruangan kecil dan kelilingi oleh orang-orang asing. seorang
ibu-ibu berpakaian PNS mengipasiku dengan sebuah buku tipis, dan seorang lainya menyeka
darahku dengan kapas. Aku terbaring di sebuah tempat tidur kecil berkerangka besi. Aku ingin
menatap berkeliling.
“Jangan banyak bergerak dik, nanti darahnya keluar lagi”, ibu yang sedang menyeka darahku
berkata kepadaku. Aku merasa ada yang aneh dengan hidungku, yang kemudian aku tahu salah
satu lubang hidungku ditutup dengan kapas untuk menghentikan mimisanku.
“Adik ini maksa sekali. Tadi kecelakaan di mana dik?” kali ini ibu yang sedang mengipasiku yang
bertanya.
Aku tiba-tiba tidak berniat untuk berbicara. Tesku tadi, aku hanya menjawab delapan dari
Sembilan soal. Ini berarti aku harus mengharap sedikit keajaiban untuk lolos. Ah, perasaan
tiba-tiba berkecamuk di dalam kepalaku. Setahun aku menunggu saat ini, dan aku
mengacaukanya.
“Maaf dik, barusan saya membuka ponsel adik. Ibu adik sedang dalam perjalanan ke sini untuk
menjemput adik, kami yang meminta beliau”, ibu yang mengipasi itu melanjutkan.
“Terimakasih bu”, aku menjawab sambil memintanya untuk berhenti mengipasiku. Aku tidak mau
merepotkan orang lain lebih dari ini.
“Baiklah dik, darahnya sudah bersih. Adik istirahat di ruang kesehatan ini dulu sambil menunggu
ibu adik datang. Kami mau kembali bekerja dulu dik.”
“Terimakasih bu”, aku menjawab masih dengan nada tidak bersemangat. Aku masih tidak percaya
dan tidak terima dengan apa yang baru saja aku alami. Putri, Diaz, dan sekarang masalah ini.
Sebenarnya ada apa ini?
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika aku gagal dalam tes seleksi ini.
Tahun lalu saja aku berhasil di dalam tahap yang sama dengan nilai sempurna, dan kini aku tidak
tahu harus bagaimana jika aku gagal. Putri juga, ada apa denganya? Aku masih belum mengerti
tentang kejadian di taman itu. Dan Diaz? Mungkin aku tadi memang sedikit memaksa Putri, tapi
apakah dia perlu sampai memukulku? Memukul temanya hingga membentur kaca jendela?
Dan aku terjebak di dalam pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di kepalaku selama
kurang lebih satu jam. Satu jam kemudian, ibu-ibu yang tadi menyeka darahku mengantarkan
mama masuk ke dalam ruangan. Kali ini, mama terlihat dengan raut muka seperti marah. Begitu
ibu itu membuka pintu dan masuk, mama tidak langsung masuk. Mama berdiri di pintu, melipat
tangannya di dada dan kemudian bersandar di salah satu sisi. Dia memandangiku, tajam.
“Maaf ma”, aku berkata lirih.
Mama masih diam, tidak bergeming.
“Mama tahukan seberapa penting seleksi ini bagiku?” kali ini aku berkata dengan nada memohon
iba. Jujur, aku jarang melihat mama marah, dan aku tidak mau melihatnya. Mama bukan seorang
pemarah, dan aku sudah lupa kapan terakhir kali melihatnya marah. Namun aku tidak tahu
mengapa, aku merasa jika mama sampai marah, itu akan berarti buruk.
“Tapi bukan berarti kau bisa melakukan hal sebodoh ini Ryan!” Mama berkata tanpa bergerak.
“Maaf ma, aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana tadi”, aku berkata dengan lirih.
Mama menghembuskan nafasnya dengan berat, menyisir rambut panjangnya ke belakang dengan
tangan, dan melangkah masuk.
“Kau bisa berjalan?” mama berkata sambil berdiri di samping ranjang. Aku berdiri,dan seperti yang
aku duga, kepalaku langsung berdenyut. Mama membantuku berdiri, dan aku bersyukur ibu-ibu
tadi tidak melepaskan sepatuku sehingga aku tidak harus bersusah payah memakai sepatu.
“It’s Ok ma, aku bisa berjalan”, aku berkata jujur.
“Baiklah, pelan-pelan saja.”
Kami melangkah keluar dari ruangan, dengan aku yang berada di depan. Mama menghawasiku,
sambil sesekali menawarkan bantuan untuk memapahku. Tapi aku bersikeras menolak. Setelah
pamit dan mengucapkan terimakasih kepada para pegawai dinas pendidikan yang telah
merawatku, kami akhirnya kembali ke mobil mama yang di parkir di halaman depan gedung, bukan
di parkiran. Nampaknya mama tadi benar-benar panik sampai tidak sempat memarkir mobilnya di
tempat parkir.
“Kita mau ke mana ma sekarang?” aku bertanya ketika mama sudah mulai mengendarai mobilnya
keluar dari halaman kantor dinas pendidikan.
“Kau itu dipukul sekali saja sudah jadi bodoh begitu? Dasar anak bodoh! Tentu saja ke rumah
sakit!” mama berkata dengan tidak bisa menembunyikan kekesalanya.
“Aku tidak tahu darimana aku mewarisi kebodohan ini ma. Tapi ayahku seorang dokter jenius”, aku
berkata sambil melirik ke mama, berusaha melihat apakah mama dapat menerima bercandaku ini
atau masih sebal.
“Kau mau satu pukulan lagi?” mama berkata, dan aku begitu lega setelah melihat seberkas
senyum di sudut bibirnya.
“Kau harus istirahat setelah ini Yan. Ibu yang menelepon tadi mengatakan kau sampai mimisan?
Semoga bukan hal buruk. Setibanya di rumah sakit, mama akan meminta dokter untuk
memeriksamu dengan lebih insetif.”
“Baik ma”, aku tidak bisa menolak. Aku sudah sangat bersyukur mama tidak marah padaku.
“Benar-benar kau ini, pakai acara kabur dari rumah sakit!”, mama tersenyum geli sambil
menopang keningnya dengan satu tangannya, sementara tangan yang lain digunakannya untuk
mengemudi.
“Aku terpaksa ma”, aku berkata lemas.
“Coba kalau papa sampai tahu”, mama berkata sambil melirikku. Mama Nampak menikmati
kata-katanya.
“Ma, aku mohon ma”, aku benar-benar memohon.
“Haha, tenang saja. Papa kan sedang ke luar kota selama seminggu ini, jadi sedikit aman. Sedikit
lho!”, mama menggodaku.
“Ah, hanya mama yang tahu masalah ini. Jadi aman atau tidaknya tergantung mama kan!”, aku kini
sedikit meninggikan suaranku. Dan lagi, aku merasakan kepalaku berdenyut hebat.
‘Iya-iya, tenang saja. tapi kau ini, benar-benar, dipukul sekali saja langsung pingsan! Payah”,
mama masih berkata dengan tersenyum.
“Yah, mama sudah lihat orang yang memukulku’kan?”
“Hu’um. Bahkan tadi sudah berbincang di sekolah.”
“Oh iya ma, bagaimana Diaz? Bagaimana hasil rapat BK-nya?” aku berkata dengan nada
bersemangat. Semoga Diaz tidak mendapat hukuman berat. Bagaimanapun dia adalah teman
karibku.
“Diaz meminta maaf tadi, dan mengakui bahwa dia khilaf”, mama menjawab dengan tidak melihat
ke arahku, memandang ke depan ke arah jalanan dengan sesekali memajukan kepalanya.
“Terus? Pihak sekolah?”
“Tadi sebelum mama datang ada wacana untuk mengadan rapat DO bagi Diaz karena dari semua
saksi memberatkanya. Semua saksi mengatakn bahwa Diaz memukulmu dengan tiba-tiba dan
tanpa pertengkaran terlebih dahulu, hingga kau membentur kaca jendela”, mendengar ini aku
bergetar. Rapat DO? Rapat untuk mengeluarkan seorang siswa.
“Dan?”, aku benar-benar penasaran.
“Mama datang dan melakukan sedikit pembelaan. Semuanya menjadi lebih baik”, mama berkata
masih dengan tidak melihat ke arahku.
“Maksudnya?”
“Diaz mendapat skorsing seminggu, dan kau mendapat skorsing selama tiga hari”, kali ini mama
menatap wajahku, berusaha menangkap ekspresi wajahku.
“Ah. Skorsing. Tapi syukurlah, yang penting tidak DO”, aku berkata dengan polos.
“Mama bisa saja membuat kalian tidak mendapat hukuman, sangat mudah. Tapi bagaimanapun
juga kalian memang salah dan harus mendapat pelajaran”, kali ini mama tidak memandangiku.
“Aku mengerti ma. Thanks mom”, aku berkata sambil memandangi wajah mama.
Tidak lama kemudian kami tiba di rumah sakit. Dari mobil, aku tidak kuat lagi untuk
berjalan sehingga akhirnya aku harus memakai kursi roda untuk memasuki rumah sakit.
Administrasi berjalan lancar dan cepat, sehingga dua puluh menit setelah kami di rumah sakit, aku
sudah dapat berbaring di ranjang yang lumayan nyaman di sebuah ruangan yang nyaman pula,
terpisah dengan pasien yang lain. Dokter datang ke ruangan tersebut untuk memeriksaku. Mama
menungguiku hingga sore hari, dan setelah hasil pemeriksaan yang menyatakan bahwa aku harus
opname selama tiga hari keluar, mama pamit pulang untuk mengurus Resa. Mama berjanji akan
datang malam hari nanti, mungkin akan menginap bersama Resa.
Dan akhirnya aku sendirian di dalam ruangan itu. Aku mencoba menghilangkan kesunyian
dengan menyalakan televisi, tetapi tidak berhasil. Aku mengambil ponsel, dan mencari sebuah
nomor. Untuk beberapa saat, aku hanya mampu memandangi nomor tersebut di layar ponsel. Aku
ragu untuk memanggil atau tidak. Beberapa hari ini nomor tersebut tidak aktif, dan entah mengapa
aku takut jika nomor tersebut masih tidak aktif. Namun akhirnya aku berhasil meyakinkan diriku
untuk memanggil.
Aku merapatkan ponsel ke telingaku. Hening sejenak.
Jantungku bergetar, entah mengapa, ketika aku mendengar nada tunggu.
“Kakak!”, suara yang sangat aku kenal akhirnya terdengar.
Aku tersenyum, dan memanggil nama orang itu.
“Hai, Putri.”

***

“Kakak, kakak bagaimana? Tadi aku dengar dari teman-teman kakak yang ikut seleksi, katanya
kakak pingsan? Bagaimana kak?” suara Putri memburu, dan terlihat cemas.
“Wow, tenang Put, aku baik-baik saja”, aku berusaha menenangkan.
“Kakak sekarang di mana? Sedang apa? Tadi benar tidak yang dikatakan teman-teman kakak?”
suara Putri masih memburu.
“Ah, mereka. Aku baik-baik saja, Put. Tadi memang pingsan, tapi hanya karena kelelahan. Tidak
ada yang perlu dikhawatirkan”, aku masih mencoba menenangkan walau harus sedikit berbohong.
“Benarkah? Kakak sekarang di mana?”
Aku sempat ragu untuk menjawab. Aku tidak ingin membuat Putri khawatir. Namun aku tahu,
sebuah kebohongan hanya akan menjadi penyebab kebohongan lain, dan aku tidak suka
berbohong.
“Hmm, di rumah sakit. Tadi diantar mama”, aku berakta pelan.
“Nah, itu kan! Kakak opname kan!”
“Hmm. Iya sih Put, tapi hanya untuk istirahat kok. I’m fine.”
“Itu kan, itu karena kakak tadi memaksa! Seharusnya tadi aku mencegah saja. Tante pasti sangat
marah kepadaku”, suaranya semakin cepat.
“Hah? Wow, tidak tidak. Mama tidak menyalahkan atau marah kok. Trust me Put, dia sudah tahu
sifatku. Tenang saja.”
“Benarkah?” suaranya merendah.
Sepi sesaat.
“Benar Put, kau sudah tidak mempercayaiku?” aku bertanya dengan sedikit penekanan nada.
“Kakak di rawat di mana?”, Putri mengabaikan pertanyaanku.
“Sama dengan yang tadi pagi, Put.”
“Ok kak, besok siang aku akan menjenguk kakak. Tante ada di situ?” ketika menyebut kata
“tante”, Putri melirihkan suaranya.
“Oh, mama pulang Put, mau mengurus Resa dulu. Ada apa? Nanti aku sampaikan.”
“Oh, tidak apa-apa kak. Hanya ingin meminta maaf, tidak enak rasanya. Kalau begitu besok saja
ketika menjenguk. Kakak sendirian?”
“Ok Put. Hmm, iya. Tapi nanti malam mungkin mama kembali, menginap. Resa juga.”
“Ah, kok sendiri?”
“Tidak apa-apa Put, aku memang tidak apa-apa kok”, aku berusaha menenangkan.
“Ah, sudahlah kak. Kakak tadi sampai pingsan” Putri berhenti berbicara dengan nada
menggantung seperti hendak melanjutkan.
Sepi sesaat. Putri sepertinya mengalihkan perhatian ke hal lain.
“Baru jam empat. Kalau begitu aku akan ke sana sekarang saja, kak.”
Aku sedikit terkejut.
“Ah, tenang saja Put, tidak usah memaksa. Aku baik-baik saja”, aku tidak ingin merepoti Putri.
“Tidak apa-apa, Kak. Tunggu ya, setengah jam lagi”, kini suara Putri terdengar begitu ringan.
“Hmm. Oke Put, terimakasih.”
“Oke kak, aku bersiap dulu.”
“Oke.”
Aku mematikan sambungan.
Aku memandang sejenak ruangan yang cukup besar ini, ruangan bercat putih dengan
dengan satu jendela yang kini tertutup. Tadi mama sempat membuka jendela itu, dan aku sempat
mencuri pandang keluar dan kudapati halaman rumah sakit. Halaman itu cukup luas, dengan tanah
berumput hijau rata dan beberapa pohon berukuran sedang yang berbaris rapi.
Di sudut ruangan itu, ada sebuah televisie. Selain ranjangku, terdapat satu meja kecil dan
tiga buah kursi yang berderet di depan ranjang, menempel ke dinding. Aku mencoba membunuh
lagi kesepian dengan menyalakan televisi. Aku mengganti-ganti chanel, berusaha mencari acara
yang dapat menghiburku. Namun, sia-sia. Tidak ada acara yang menghiburku. Aku mematikan
kembali televisi tersebut, dan kini aku terjebak di dalam kesunyian. Tiga puluh menit? Lima menit
saja terasa begitu lama!
Seperti yang aku duga, akhirnya rasa kantuk datang juga. Aku menolak untuk tertidur
karena ingin melihat saat Putri datang. Aku berusaha bertahan, tapi mungkin karena pengaruh
obat yang tadi aku minum juga, akhirnya aku kalah melawan rasa kantuk itu. Aku tertidur, sama
sekali tanpa bermimpi.
Aku terbangun karena merasakan sentuhan di dahiku, dan aku segera mengerti seseorang
mengusap halus . Sebelum aku membuka mataku, aku membayangkan wajah Putri yang pertama
kali akan aku lihat. Namun aku sedikit terkejut, dan sedikit kecewa ketika mendapati orang
tersebut bukan Putri.
“Bagaimana keadaanmu, yan?” mama bertanya kepadaku dengan lembut.
“Baik ma”, aku masih terkejut. Kenapa bukan Putri yang datang?
Mama beranjak dari samping ranjangku dan berjalan menuju ke meja, meletakan tas dan
beberapa barang, mungkin keperluanku.
“Syukurlah. Lhoh, tadi ada tamu? Siapa?” mama bertanya sambil membalikan badanya,
menatapku.
“Ah, tidak ada ma. Memangnya kenapa?” aku bertanya dengan sangat heran.
“Itu”, mama berkata sambil menunjuk bingkisan buah di meja.
“Bukan mama yang membawa?”
“Bodoh. Kalau mama yang bawa mama tidak akan bertanya’kan?”
Aku berfikir sebentar. Aku tiba-tiba sedikit terlonjak.
“Ma, ini jam berapa ma?” aku bertanya dengan tergesa.
Mama memandangiku sejenak, terkejut dengan nadaku mungkin. Namun kemudian mama
memandangi arlojinya.
“Delapan lebih sepuluh. Kenapa?”
Delapan? Aku merasa baru tidur sebentar. Tadi Putri janji datang jam setengah lima. Jadi tadi Putri
sudah datang? Tapi kenapa dia tidak membangunkanku?
“Ah. Putri ma, tadi Putri yang ke sini.”
“Dan kau tidak tahu?” mama sedikit mengangkat alis kananya.
“Tidak. Aku tadi tertidur ma. Ah, payah.”
“Nah, kau sadar, memang payah”, mama menggodaku.
Aku terdiam.
“Sudahlah, tidak apa-apa. Mungkin Putri tidak tega membangunkanmu”, kini suara mama
terdengar menenangkan. Mama membuka bungkusan yang tadi dibawanya, dan mengeluarkan
kue.
“Iya ma. Resa mana ma?” aku baru sadar mama datang sendiri.
“Tidak ikut. Mama tidak tega mengajaknya ke sini, kasihan besok dia sekolah.”
“Terus? Di mana Resa sekarang?”
“Di rumah Tante Linda. Besok tante Linda juga bersedia mengantar Resa ke sekolah, jadi mama
bisa berada di sini.”
Aku mengambil ponselku, dan mendapati beberapa pesan masuk, namun pesan dari Putri lah
yang paling menarik perhatianku.
“Kak, aku sudah datang, tapi tidak tega membangunkan kakak. Besok aku kembali, kakak
istirahat ya.”
Benarkan, dia sudah datang.
“Oh, begitu ma. Ma, tadi Putri mau minta maaf. Dia merasa bersalah.”
“Hah, bersalah karena apa?” mama bertanya sambil duduk danm mengupas buah apel.
“Tidak tahu, dia merasa bersalah saja.”
“Haha, dasar anak muda. Sampaikan, tidak perlu merasa bersalah. Semua ini kesalahan seorang
anak bodoh yang nekad.”
Aku tersenyum. Malam hari sakit di kepalaku kambuh lagi. Namun keadaan menjadi lebih baik
setelah aku meminum obat yang diberikan dokter. Tidak berselang lama setelah aku meminum
obat tersebut, rasa kantuk kembali menyerangku. Aku tertidur, dan lagi tanpa mimpi. Aku
membuka mataku kembai, dan aku telah mendapati jendela kamarku telah terbuka. Cahaya pagi
memasuki ruangan tersebut melalui jendela yang telah terbuka, memberi kehangatan yang
nyaman. Aku melalui pagi itu dengan sedikit lebih menyenangkan daripada sore kemarin.
Setidaknya sekarang aku tidak terlalu bosan karena mama membawakanku beberapa buku dan
majalah.
“Jam berapa ma sekarang?” aku bertanya kepada mama yang sedang duduk di kursi, menonton
televisi.
“Sembilan”, mama menjawab setelah memandangi arlojinya. Setelah itu, mama seperti menyadari
sesuatu dan bangkit.
“Mama pulang dulu ya yan. Nanti sore mama kembali lagi.”
“Oh, oke ma.”
“Kau ingin dibawakan sesuatu?”
“Tidak ma. Sebenarnya sih ingin pepsi blue tapi pasti mama tidak mengijinkan’kan?” aku
menjawab pertanyaanku sendiri.
“Kau ini, benar-benar. Kenapa tidak minta racun sekalian saja?” mama berkata sambil
mendekatiku. Mengelus sedikit keningku.
“Kalau ada apa-apa, hubungu mama ya.”
“Oke ma.”
Mama berbalik, melangkah keluar. Dan kembali aku sendirian di kamar ini. Aku melanjutkan
membaca majalah yang tadi aku baca. Namun tidak berselang lama, aku terhenti karena
mendapati seseorang mengetuk pintu kamarku. Pintu terbuka, dan wajah itu muncul.
“Ryan”, orang itu berdiri di pintu, belum masuk.
“Masuklah, Az”, aku mempersilahkan Diaz untuk masuk. Dia melangkah pelan, wajahnya terlihat
tidak bersemangat seperti biasanya.
“Kau baik-baik saja?” dia bertanya dengan nada pelan, dan terus terang aku merasa kikuk jika
memikirkan orang bertubuh besar sepertinya berbicara dengan nada seperti itu.
“Well, tentu. Aku tidak akan mati karena sebuah pukulan”, aku tersenyum.
Diaz berdiri di samping ranjangku. Aku sedikit mengubah posisi terbaringku, dan pergerakan ini
membuatku sedikit meringis menahan sakit.
“Kau tahu, yan. Aku sangat menyesal. Aku benar-benar tidak bermaksud untuk memukulmu. Kau
tahu, aku hanya tidak bisa melihat wanita diperlakukan seperti itu.”
Aku masih diam.
“Aku tidak tahu, tiba-tiba aku sudah melihatmu terjatuh. Aku bahkan tidak sadar kau jatuh karena
pukulanku”, Diaz kini menunduk.
“Sudahlah, aku tidak apa-apa. Aku tahu perasaanmu. Setidaknya, ini pelajaran bagi kita. Ambil sisi
positifnya”, aku menenangkanya.
“Positif?” Ryan menatapku.
“Setidaknya kita tidak perlu membolos karena skorsing”, aku tersenyum. Diaz tertawa. Kami
kemudian membicarakan hal-hal lain.
Tidak lama berselang, sekitar lima belas kemudian, datang enam orang perwakilan dari tim
olimpiade sekolahku. Mereka mengatakan menjenguk atas saran Pak Ridwan, Pembina tim
olimpiade. Jadi aku tidak heran mereka diizinkan keluar dari sekolah pada jam seperti ini.
Diaz pamit setelah ke enam orang tersebut datang. Sedangkan enam orang itu sendiri cukup lama
menjengukku. Aku tahu alasanya, mereka malas untuk segera kembali ke sekolah. Bagi mereka,
ini kesempatan untuk tidak mengikuti pelajaran yang mungkin bagi mereka membosankan. Mereka
baru pulang jam sebelas. Dan kembali, aku sendiri.
Kali ini, aku benar-benar tidak berniat untuk tidur. Putri akan datang jam dua nanti, dan aku tidak
mau dia mendapatiku tertidur lagi. Maka aku membaca tanpa henti, dan aku berhasil mengusir
kejenuhan itu. Tepat pukul dua, seseorang mengetuk pintu kamarku. Pintu terbuka, dan aku
melihat wajah itu.
Putri. Dia masih mengenakan seragam sekolah. Kali ini rambutnya lurus sempurna, tidak seperti
biasanya yang sedikit mengombak di ujung-ujungnya.
“Kakak?”, di berkata sambil berjalan masuk. Dia meletakan sebuah bingkisan di meja, dan
melangkah ke samping ranjangku.
“Hai Tuan Putri”, aku tersenyum. Putri sedikit tersenyum. Aku memandangi wajahnya, dan
mendapati sedikit kelesuan di wajahnya.
“Bagaimana keadaanmu, kak?”
“Jauh lebih baik. Kau sendiri Put? Kau terlihat sedikit lelah. Kau sakit?”
“Ah, tidak kak. Semuanya baik-baik saja. Kakak sudah makan?”
“Sudah kok. Kenapa Put, kemarin tidak membangunkanku? Padahal sudah di sini.”
“Aku melihatmu tertidur pulas kak, dan tidak tega membangunkanmu”, Putri tersenyum. Sangat
manis. Ketika dia tersenyum, seperti ada yang bergetar di dalam diriku. Putri. Aku tidak yakin, di
dunia ini ada wanita lain sehebat dan sesempurna Putri. Bersamanya, waktu seolah berlari, tersa
begitu cepat. Aku ingin selalu bersamanya. Namun, ketika waktu sudah menunukkan setengah
empat, Putri sudah bersiap untuk pulang. Aku nyaris memintanya untuk tinggal sebentar lagi,
namun aku tidak mau merepoti putrid lebih dari ini.
“Kakak, aku pulang dulu ya”, putrid berdiri. Menatapku.
Aku terdiam. Tiba-tiba sesuatu muncul di kepalaku.
“Put?”
“Iya kak? Ada apa?”
“Aku masih penasaran, tentang kejadian di taman itu”, aku bertanya dengan merendahkan
suaraku.
Putri terdiam. Kini dia tidak memandangku.
“Put, aku tahu ada sesuatu.”
Masih diam. Dan aku juga diam, menunggu.
Akhirnya putri menatapku, tersenyum.
“Aku akan mengatakanya kalau kakak sudah sembuh.”
Putri berbalik, berjalan menuju pintu dan membukanya. Sebelum melangkah keluar, tepat di pintu,
Putri berbalik dan menatapku. Tersenyum dengan senyumnya yang selalu meluluhkanku.
“Makanya, cepat sembuh, Tuan jenius.”
Aku tersenyum.
“Oke, Tuan Putri.”
Putri melangkah keluar, dan menutup pintu.
Aku masih tersenyum, dan entah mengapa aku bergumam,
“Makanya, cepat sembuh, Tuan jenius.”

***







 
Bersambung Ndak Yaa?? ^^

Categories: , ,

0 komentar: